Abdul masih saja bertengger di sadel becak sambil menanti penumpang yang membutuhkan
jasanya. Sesekali matanya menatap buku tabungan yang berjumlah 10 juta. Uang
hasil jerih payah Abdul untuk membiayai emak pergi naik haji. Sehari Abdul menyisihkan 20 ribu, lalu
sebulan sekali Abdul pergi ke bank yang menyediakan ONH (Ongkos Naik Haji).
Jika kakinya melangkah memasuki bank, ada rasa haru dan bangga yang
menggelanyut di benaknya. Tapi ,saat ini Abdul merasakan dia rugi menabung
untuk membiayai emak. Karena setiap
tahunnya ongkos naik haji selalu mengalami kenaikan, sementara uang tabungan
selalu gagal mengejar laju inflasi.
Senja kian merayap menggelantung di dinding cakrawala. Abdul masih saja
memikirkan uang yang ada dalam tabungannya itu. Sampai kapan dia bisa
mewujudkan keinginan emaknya? Selalu saja pertanyaan itu mengusik di bawah alam
sadar. Tiba-tiba ada calon penumpang yang mengagetkannya.
“Nak, tolong antarkan saya ke alun-alun Kendal!” Kata seorang ibu paruh
baya. “Berapa, ya?” tanyanya.
“Delapan ribu, Bu,” jawab Abdul lemah dan tangannya cekatan memutar
becaknya dan sedikit menukikkan ke depan agar ibu itu bisa naik.
Abdul menggayuh becak dan angin sore memainkan rambutnya yang terbilang tipis.
Walau tatapan matanya fokus ke jalan, namun mata hatinya tak lepas dari jumlah
uang yang tertera pada buku tabungannya.
“Pean(1), juga nabung untuk
naik haji, ya?” Tanya penumpangnya tiba-tiba. Dan pertanyaannya itu menyentakkan Abdul, hingga tak sadar ia
mengerem becak dan becaknya sedikit menyendal. “Maaf ya, Nak jika pertanyaan
saya mengagetkan.” Lanjut ibu itu.
“Tidak kok, Bu. Iya saya juga nabung untuk emak saya naik haji. Tapi,
setiap kali tabungan saya bertambah, ongkos naik haji kian meningkat. Sehingga
tabungan saya tidak bisa mengejar biaya haji tersebut.” Abdul menjelaskan
panjang lebar tanpa disuruh.
“Iya. Saya juga merasa begitu. Mungkin solusinya menambah jumlah tabungan
perbulannya kali ya?” si ibu menoleh ke belakang menatap Abdul.
Abdul mengusap keringat, lalu mengernyitkan
dahinya. Yang Abdul pikirkan saat ini adalah tidak ingin menabung. Percuma menabung
banyak, jika inflasi terus naik.
“Saya tidak tertarik buat menambah jumlah tabungan ONH, Bu. Saya juga
harus memikirkan hari ini dan esok makan apa.”
“Emang kalau boleh tahu tabungannya
saat ini berapa, Nak?”
“Sepuluh juta, Bu,”
“Lho, kok sama persis dengan Ibu?”
Ibu itu mengeluarkan buku tabungan dan menunjukkan ke Abdul tanpa disuruh.
***
Sehabis sholat berjamaah maghrib,
Abdul duduk di depan rumahnya. Menatap terangnya bulan dan taburan gemintang di
angkasa luas. Maha kaya Sang Pencipta ini. Begitu sempurna isi jagad raya ini.
Namun Abdul terkadang menilai Sang Pencipta tidak adil kepadaya. Niatnya yang
tulus ingin menaikkan haji emaknya terasa menguap tanpa bekas dengan
melonjaknya biaya naik haji setiap tahun. Bagaimana mungkin dia dapat mengejar
laju inflasi tersebut? Abdul bingung. Merenung dalam keremangan malam.
“Woi, Dul. Ngapain bengong-bengong
pake sarung? Abis sunat ya?” gurau Danu teman semasa sekolahnya di SMP.
“Ngawur saja kamu. Pusing nih aku,
Dan,” Abdul membuka songkoknya dan meremas-remas.
“Kenapa? Mau minta kawin?” gurau
Danu disertai tawa terpingkal-pingkal.
“Kamu stress ya, Dan? Orang lagi
susah malah ketawa sampai begitu. Memang ada yang lucu, ya?” Tanya Abdul
senewen. Abdul hafal sekali jika Danu ini suka sekali bergurau dan terkadang
hal tidak lucu saja dijadikan bahan tawaannya.
“Gimana aku gak ketawa, Dul. Kamu
tuh make baju emak kamu, tuh?” Danu menarik baju Abdul. Abdul memperhatikan
baju yang dia pakai di keremangan malam.
“Masyaallah. Pikiranku lagi gak
karuan hari ini, Dan. Jadi begini salah mengambil baju.”
“Kenapa?”
“Aku sudah lama menabung untuk ibu
naik haji. Dan kini telah mencapai 10 juta. Namun, aku selalu mendengar ongkos
naik haji kian meningkat tiap tahunnya. Apakah ini yang dinamakan inflasi, Dan?
Kamu kan lulusan sarjana ekonomi. Aku ingin kamu membantuku mengatasi masalah
ini. Apa yang harus aku lakukan, Dan?”
“Lha gini ya, Dul. Apa yang
dikatakan kamu tentang inflasi itu benar. Jadi seandai kamu mau menaikkan haji
ibumu dalam bentuk tabungan uang, maka sampai kapanpun kamu kembang kempis tuh
nabungnya. Karena biaya haji makin mahal tiap tahunnya. Padahal kamu nabung tiap
bulan sama ‘kan nominalnya?” Abdul mangguk-mangguk. “Tapi, kalau kamu nabung
dalam bentuk emas, maka biaya haji itu sebenarnya murah,” Abdul terkejut dan
terperanjat menatap Danu lekat. Danu mangguk-mangguk memastikan keraguan Abdul.
“Kok bisa, ya Dan?”
“Yoi, bisa sekali. Sekarang gini aku
jelasin, pertahunnya ONH pasti naik 10%
dan emas naik kisaran 12%-20% pertahun. Jadi, emas tetap bisa melewati ONH.
Seandai sekarang kamu merencanakan akan naik haji 7 tahun lagi, maka dengan
jalan menabung menggunakan emas ini, maka kamu akan mempersingkat waktu bisa
menjadi empat atau lima tahun lagi emak kamu berhaji, Dul.” Danu menghela nafas
panjang. “Dan dapat dimunginkan kamu bisa ikut naik haji,” lanjutnya.
“Wah, resep kamu ok juga, Dan.
Tumben otakmu topcer saat ini. Gak ngakak terus kerjaannya.” Abdul merasa
pikirannya kini telah longgar dan lega.
“Wezzz…sini gitu loh,” Danu menarik
ke dua kerah bajunya, “pesenku lagi ni, Dul, kalau ngeliat buku yang membahas
investasi mending di beli! Dijamin gak rugi.”
Abdul hanya mangguk-mangguk
berkali-kali.
***
Kenangan itu teramat membekas di
hati Abdul. Semua nasehat Danu tak satupun dilanggarnya. Semenjak kejadian itu,
paginya Abdul menutup rekening di bank dan
membeli emas batangan. Setiap hari tetap ia kayuh becak, menyisihkan
uang 20 ribu, dikumpulkan. Jika sudah terlihat banyak dibelikan emas batangan.
Abdul sengaja tidak memberitahu trik
dari Danu ini kepada emak. Abdul ingin memberi surprise kepada emak, begitulah katanya jika ditanya Danu.
Mata Abdul basah melihat emak sangat antusias mengikuti bimbingan
manasik haji di Pondok Modern Selamat, Kendal. Ada 1371 yang mengikuti manasik
haji yang diselenggrakan oleh Kementrian Agama Kabupaten Kendal di tahun 2012
ini. Semuanya khusuk menyimak penjelasan Ustazd Muhaimin. Abdul merasa seperti
mimpi jika dia juga akhirnya berhaji bersama emak. Semua ini tak luput dari penjelasan Danu malam itu.
Abdul sesekali mendekap buku BHSI(2) kiriman dari
buleknya yang ada di Hongkong beberapa bulan lalu. Membaca buku ini mata hati
Abdul jadi lebih terarah.
“Ah, jika buku ini sudah ada sejak dulu,
mungkin dia akan memilih jalan investasi untuk menyimpan uangnya.” Bathin
Abdul.
“Abdul, kenapa kamu merem-merem
begitu melukin buku?” Tanya emak mengagetkan
Abdul.
“Eh, Emak. Ini Mak, saya seneng sekali akhirnya kita bisa naik haji, ya
Mak?” Abdul mengucek matanya.
“Iya, makasih, ya Nak. Emak akhirnya
bisa naik haji juga,” mak tersenyum simpul. Berlalu dan bergabung dengan Jemaah
perempuan.
Gelap kian merayap. Bimbingan
manasik haji telah usai. Abdul melangkah beriringan bersama emaknya. Sang
Pencipta begitu adil kepada setiap makhluknya. Jika kita tidak mendapatkan
tujuan yang kita maksud, maka Allah ada rencana lain yang lebih indah. Ini
berlaku pada Abdul itu sendiri. Ketika dia berusaha menabung untuk ONH, tapi
laju inflasi membuat naik ONH setiap tahun. Bertahun-tahun Abdul menabung
hingga kelelahan, hingga putus asa sering hinggap dipikirannya. Melalui Danulah
Abdul mengerti dunia investasi. Apalagi setelah buleknya mengirimkan buku BHSI,
maka semakin mantap Abdul untuk memilih berinvestasi sepulang dari berhaji di
tahun 2012 ini.
“Lho, ini Nak becak yang dulu itu,
‘kan?” Tanya seorang ibu menerka-nerka.
“Lho kok ibu masih ingat saya? Dan
kenapa ada di sini?”
“Saya juga ikut manasik haji, Nak.
Ini ibunya, pean?” mengulurkan
tangannya dan menyalami emak. “ Saya
tadi melihat pean, Nak. Ini yang berangkat haji pean atau emaknya?”
Tanyanya kembali.
“Saya sama Emak,” jawab Abdul.
“Siapa, Dul?” emak bertanya dengan keheranan.
“Pelanggan becak, Abdul, Mak,” jawab
Abdul sekenanya. Padahal memakai jasa Abdul saja baru sekali beberapa tahun
lalu.
“Kalau tidak salah tabungan kita
nilai nominalnya sama ‘kan? Tapi kok bisa-bisanya pean dan emak pergi haji
berdua?” Tanya ibu tersebut.
“Karena saat itu saya menutup
rekening dan menabung dengan cara berinvestasi emas. Tabungan emas ini khusus
buat naik haji. Saat itu teman saya yang memberi nasehat, Bu. Kata teman saya
jika kenaikan ONH berkisar 10% pertahun, sementara kenaikan emas pertahunnya
mencapai 12%-20% pertahun. Jadi, kenaikan emas bisa mengejar laju inflasi ONH.
Bahkan semakin lama ONH itu sebenarnya semakin murah jika kita menabungnya
dalam bentuk emas, Bu.” Abdul merogoh sebuah buku dari dalam tasnya.
“Kenapa gak dari dulu, Mas bilang ke
saya? Biar ayahnya anak-anak bisa ikut berhaji juga,” wajah ibu itu nampak
sedikit kecewa karena merasa ketinggalan berita.
“Lho, Ibu sih gak pernah make becak
saya. Coba kalau nyari saya jika di Pasar Kendal dan menggunakan jasa becak
saya, pasti Ibu gak ketinggalan berita. Nah, ini saya ada satu berita penting
lagi, Bu.” Abdul menyodorkan buku BHSI. “Buku ini membahas dunia emas dan
investasi, Bu. Setelah pulang haji nanti Insyaallah saya akan mulai
berinvestasi. Ibu pernah dengar investasi?” Abdul bertanya menyelidik. Emak menyenggol lengan Abdul, dan Abdul
menyeringai.
“Pernah. Kalau gak salah anak saya
yang SMA, pernah ngomong investasi kalau lagi belajar. Tapi saya tidak ngerti
apa itu investasi,” jawab ibu itu jujur dan tersenyum kepada emak.
“Bu, ini buku BHSI buat Ibu, ya. Jika
baca ini tidak akan menyesal. Saya pamit, Bu. Labaikallah huma labaik. Sampai
jumpa pada Oktober ini di Mekah, Bu.”
“Iya, Nak Abdul. Terimakasih. Sampai
jumpa di Mekah.” (Diani Ramdhaniesta)
Keterangan:
1.
Pean
: Kamu
2.
BHSI
: BMI Hong Kong Sadar Investasi
Cerpen ini pernah dimuat di Majalah BHSI(BMI
Hong Kong Sadar Investasi) edisi Oktober
2012