Headline

Ritme Hidupku

/1/

Sebut saja Aku Faaizah
Nama yang mengandung arti “Beruntung”
Tapi, hidup yang aku jalani simpang siur
Perih, pedih, merajam hati

Di semak pandan berduri aku berdiri
Menatap sorot mata tua yang melarangku pergi
Suara tercekat, sulit berucap
Perempuan itu berdiri diam
Gerak bibirnya perlahan bersuara:
Faaizah, sungguh kau adakah satusatunya permata hati Bunda.
Kau akan pergi jauh mencari Ayah kau,
Faaizah, entah mengapa hati Bunda, tidak rela
Tapi, jika sudah teguh pendirianmu, apa hendak dikata
Tangan rentahnya meraih air mukaku
Tersedu aku dalam dekapan tubuh rentahnya

Senyumku mengulum kegetiran hidup yang aku jalani
Kuraih tangan tuanya, jemarinya yang berbukubuku terasa kaku, sekaku hatinya yang tidak rela melepaskanku

Melangkah pondok tua peninggalan Ayah
Ayah yang menjala mimpi di Arab
Namun, hingga kini entah di mana; tiada kabar, tiada berita, bahkan suara

Dalam pondok tua beratap terpal
Berdinding kayu yang dipenuhi lobang tawon
Putriku Aisyah menyantap nasi dari kerak nasi
Perih melihat adegan kehidupan ini


/2/
Masa telah tiba tahun 2009 bulan 2
Aku tinggalkan tanah pertiwi
Berbekal doa dan rinai mata, Bundaku izinkanku pergi!

Mata Aisyah telah  mengumpul rinairinai asin
Alirannya tidak dapat dibendung lagi
Bocah berusia 5 tahun terpaksa aku tinggal pergi
Merangkum mimpi di tanah Arab dan mencari jejak Ayah
Meninggalkan kegetiran berita yang telah mengambing hitamkan suamiku

Aku tinggalkan tanah air bukan saja mencari Ayah
Aku ingin mengubah jalan hidup ini, pergi dari Bali
Membenamkan telingahku dari desusan berita yang memekakan telinga

/3/
Sumiku Abdul Muchlisin
Dijadikan kambing hitam; dituduh teroris
Dia divonis mendekap di bui sampai mati
Membuatku ngeri, hingga mengurung diri berharihari

10 Oktober 2005
Bom meneror Bali, di Aja’s Bar dan Restauran sebelah utara dari rumahku
Pantai Kuta
Beritaberita di televisi menyorot mayatmayat yang membiru
Terasa lunglai mata kaki ini
Entah mengapa hatiku merasa getir seperti ada onak duri yang terselip

Semenjak kejadian bom itu, suamiku tidak di rumah
Aku panik, kalut, iba entah apa lagi yang ada dalam memoriku
Apa dia menjadi korban pengeboman?
Dan mayatmayat biru itu, wajah suamikukah?
Di ujung-ujung malam aku berdesis:
Ya Rabbi, lindungilah pelita hati
Aku teramat takut teramat
Lindungilah dia dimanapun berada ya Rabbi
Lindungilah raganya dan bawalah dalam dekapanku kembali
Bersama doadoa malamku

Lima hari telah berlalu
Dua orang polisi datang ke rumahku memberi sepucuk surat
Surat pemberitahuan bahwa suamiku tersangka teroris
Terlibat dalam pengeboman tak bermanusiawi
Aku kaku, gelap, limbung, terkulai, dan menggelepar.

Peristiwa itu telah mengasingkanku
Menambah beban hidupku
Merambat menggerogoti alam pikirku
Mengkungkung dalam penjara nestapa
Ah, mengapa dunia begitu kejam
Kejam

Mataku nanar, perih, dan air asin meluap
Retinaku menyorot berita di televisi
Tubuh suamiku penuh cambuk, membiru
Labih ngeri dari mayatmayat itu
Suamiku seperti mayat berjalan

/4/
Peristiwa pengeboman Bali 10 Oktober 2005
Merenggut mata hatiku
Mengucilkanku
Mengasingkanku
Dan memaksaku utuk mengungsi ke Sulawesi
Gubuk perempuan tua, “Bundaku”

Ini sungguh ketidakadilan
Suamiku terfitnah
Suamiku ternyata memelihara musuh dalam selimut
Yang menjadikannya mendekam di jerujijeruji besi
Menyimpan bongkahan bom di lemari kerja suamiku

Tuhan! Inikah arti hidup?  Jeritanku tak bersuara
Hanya semut lemah yang mampu mendengar

Hari berikutnya tertangkap dua orang teroris
Aku bisa tertawa
Tapi percuma, aku hanya bisa tertawa
Suamiku tetap mendekam, tak jua bebas

Azahri bin Husin, Noordin Top
Dua orang Malaysia
Dalang Bom Bali 10 Oktober 2005

Tawaku memang hanya menguap
Tiada arti
Namun, aku sungguh bangga dua orang itu tertangkap

Yah, kisah itulah yang mengantarkanku menuju tanah Arab
Mengharap bisa merubah diri
Berbenah diri
Dan yang pasti, ingin mencari jejak Ayah yang hilang bagai ditelan bumi

/5/
Buliran asin merembes di pipi
Tangisku pecah, cabikkan asa
Jiwaku berperang di alam jagad pikir
Aku ingin berteriak, dan mematahkan jerujijaruji besi
Kini, tidak saja suamiku yang mendekam dalam bui
Aku juga begitu
Yah, aku di dalam bui
Inikah hidup?
Pertanyaanku berkalikali tanpa ada yang menjawab

Di balik jeruji kenagan itu menghipnotisku
Memaksaku untuk lamalama menikmatinya
Membuka kaset hidupku yang telah termakan waktu
Aku berusaha mengentikan putaran kaset hidupku
Namun sulit, sulit sekali

Saat ini aku terkurung dalam penjara Thaif
Aku tersangka kasus pembunuhan
Aku memang membunuh
Dan aku pembunuh
Sekarang aku di cap pembunuh
Apa perduliku? Yang penting aku puas
Membunuh orang yang selalu menganiayaku, yang hampir merenggut kehormatanku
Apa aku salah? Pintaku, untuk jawabanmu

Alur hidupku mengantarkanku pada eksekusi hukuman mati
Illahi Rabbi, memang sudah beginikah jalan hidupku?
Aku bertanya dalam tangis
Aku bertanya dalam hatiku yang teriris

Oksigen hanya mampu aku nikmati dua bulan lagi
Seterusnya, mungkin tinggal jasadku terbujur kaku
Aku pergi untuk selamanya

Yang aku harapkan aku bisa seperti Darsem
Terbebas
Dibebaskan negeri pertiwi
Ah, aku mungkin hanya mimpi

Ketakutanku merambah kian pekat
Ketakutanku menyedot isi dagingku
Kini aku hanya tulang berlapis kulit
Piluku memeluk hidup

Aku inginkan pergi!
Aku tidak bersalah!
Kau yang menyebabkan aku begini
Kau…

Mataku mengintai jeruji
Kan ku bengkokkan besi sialan ini
Tapi itu hanya mimpi
Mimpi melarikan diri

Jemariku meraba di pembaringan Ruyati
Tersepuh rindu meronta di sekujur nadi
Rindu kala Ruyati bercerita tentang reronceh mimpi
Rindu berbagi lara yang mencengkeram ulu ati

Duhai Ruyati sahabat perjuanganku
Namamu harum bak kesturi
Kau Pahlawan devisa yang pergi mendahuluiku
Kini tiba saatnaya waktu gilirku
Menemuimu dalam selangkangan nyawaku

Namun, sungguh aku takut
Aku takut mati di pancung
“Pancung”
Sebentar lagi aku menemui panggilanmu

Kuputar kembali memoar bersama Ruyati
 Saat dia mengiburku
Saat dia memelukku
Saat dia mengenangku
Saat ini hanya peta sejarah yang bersanding di dinding kelam

Ruyati sosok ibu yang bersahaja
Menjalani hukuman pancung di Mekah 18 Januari 2011
Saatsaat menegangkan itu aku pasrah antara derita dan air mata

Ruyati didakwa membunuh Khoiriyah Omar Moh. Omar Hilwani
Majikan yang membabi buta
Luapan emosinya tanpa jeda
Seperti lebah berdengung dan siap menyengat tubuh Ruyati

Bathinku teriris
Jiwaku meringis
Menjadi mesin penghafal hidup Ruyati

/6/
Mataku menyapa di sel sebelah sana
Ada bayang Nursyati
TKW yang dihukum rajam
Aku menjadi kamera peristiwa itu

Saat kaki ini melangkah panjang
Menuju ambang kematian Nursyati
Daundaun kering ikut bergoyang
Disepanjang perjalanan suara ketukan batu:
Tek..tek..tek..tek…”
Memekakan telingaku dan merajam urat nadiku

Batubatu  berbunyi bagaikan magis yang  menelan nyawa dalam hitungan waktu
Batubatu yang memaksa Nursyati menelan pil maut
Batubatu yang mencabikcabik kepala Nursyati
Meninggalkan sisa yang begitu pedih di hatiku

Tubuh terbenam di tanah
Hanya kepala yang menyibul di selimuti mentari meranggas
Satu, dua batu mendarat di kepalanya
Darah mengucur deras bagai mata air yang alirannya deras
Seluruh kepala Nursyati bersimbah darah segar
Kepalanya lunglai
Pandangannya luruh
Tatapannya ke arahku
Aku tidak tahan dengan semua ini
Dalam sekejap matanya tertutup rapat untuk selamanya

/6/
Itu kisah lama yang menari di ingatanku, kini hanya:
Pedang tajam nan panjang siap memancungku
Nyawaku di dalam selangkangan waktu
Hanya menunggu detikdetik menikmati oksigen untuk terakhir kali
Aku pandangi potret masa kecilku dan aku masukkan dalam poketku
Selamat tinggal Ayah, Bunda, Buah hatiku tercinta,
Dan selamat tinggal suamiku terkasih

Aku pergi tidak untuk kembali
Aku akan pergi hanya meninggalkan nama yang ada di hati kalian, kawan

Pedang terhunus tajam nan berkilau
Menyilaukan pandangan mataku
Memaksaku memutar memoarmemoar kisah lalu
Silih berganti menarinari di otakku
Mengajakku mengembara ke masa silam nan kelam
Dan kini berakhir di ujung pedang

Tangantangan kekar itu menyiapkan ancangancang
Dadaku tak lagi bergemuruh
Rasa takutku telah luruh
Hanya bayang buah hatiku dan wajah sayu bunda yang mengelilingi pikiranku
Sebulir air mata merembes seketika

Mataku melirik pedang yang terhunus
Berkilau diterpa matahari
Tangan tua namun kekar menggenggam erat pedang itu
Sayu aku pandangi pedang itu
Aliran darahku berdesir
Entah mengapa
Sulit tereja

Langkah kakinya panjangpanjang
Membawa pedang
Aku lirik untuk yang terkahir kalinya
Sebuah potret tua
Ada aku dan juga ayah, bunda
Dahulu, masa balitaku
Foto itu terjatuh dari poketku

Ayunan tangan itu pembawa pedang, pelan
Pelan dan memandangi secarik foto lusuh
Tangannya bergetar hebat
Pedang itu terhenti seketika

Cincin yang masih melingkar di jarinya
Seperti milik Bunda
Illahi Rabbi siapa lelaki algojo ini?
Pandanganku jatuh di kaki tuanya

Ya Allah diakah Ayahku?
Ayah yang selama ini aku cari
Dari pertiwi sampai diujung pedang ini
Ya Allah, mengapa hamba dipertemukan dengan cara ini?
Mengapa?
Sudah takdirkukah?
Atau ini jalan menuju kematianku?

Tertunduk wajahku
Hati pilu tertusuk sukma
Pada ayah tercinta
Yang selalu kucari dari penjuru Arab
Kau kah ini?

Sisahan kisah silam terekam
Saat aku kecil dalam dekapan tubuh hangat ayah
Saat aku berkelakar dengan ayah
Semua sangat  sedikit aku ingat

Pedang itu semakin terangkat pelan
Meninggi dan meninggi
Mataku kian perih
Terlampau meninggi
Dan…

Pedang itu mendarat di leherku
Sempat kulihat ketika leherku putus
Darah segar muncrat bagai aliran yang tak putus

Tubuh tanpa kepala limbung
Hilang keseimbangan
Dan…

Malaikat Izrail menarik nyawaku
Sakit tiada tertahan
Rohku meregang
Aku kian tak tahan
Sakit sekali
Aku bagaikan tak bernyali
Saat rohku sempat melihat tubuh ayah yang  memeluk tubuh tanpa kepala
Di tubuhku ianya tergugu

Semuanya telah terlambat
Tiada ada yang perlu disesal
Biarlah sakit ini hanya sekali
Daripada berkalikali aku sakit
Aku reguh air mata kepedihan yang kujalani
Bersama rohku terbang kesemesta belum ada

Untuk ayahku, pulanglah jangan kau ratapi yang telah terjadi
Untuk bundaku, ingatlah saat kita di pandan berduri
Untuk buah hatiku, jadilah kau tunas bangsa yang berguna
Untuk suamiku, kenanglah kisah kita selalu
Untuk kamu, hidup ini sangat pahit
Dan jika kau merasakan manis, jangan siasiakan, tetap berjuang

Rasanya sudah tiba saatnya aku memiliki sebagian yang terpisah
Terpisah dari kisah hidupku
Yang dapat aku temui di alam kekal
Abadi selamanya (Diani Ramadhaniesta)

Man On Shan, Oktober 2012

Daftar sumber-sumber:
1.      Ruyati TKI asal kampung ceger, kec. Sukatani 1 Bekasi, Jawa barat menjalani hukuman pancung di Mekah (18/6) karena membunuh istri majikan Khoiriyah Omar Moh. Hilwani tanggal 12 Januari 2010 setelah bertengkar. (Republika.co.id).
2.      Tiga serangan bom meledak di dua tempat wisata Bali, Jimbaran Kuta tanggal 1 Oktober 2005. Ledakan ini menewaskan 19 orang termasuk 3 orang penyerang, dan melukai lebih dari 50 orang. Sebagian korban adalah orang asing. Hari berikutnya Indonesia menangkap dua orang Malaysia Azahari bin Husen dan Noordin M. Top sebagai otak dibalik bom Bali ini. (Viva News.co.id)


G+

Recent Articles

0 komentar for "Ritme Hidupku"

Leave a reply