Hujan deras
yang melanda Singapura menimbulkan bau tanah. Hujan itu kini telah berhenti dan
menyisakan buliran air yang masih menetes-netes di setiap helai daun bunga kertas milik majikanku.
Angin lembut semilir menari-nari bersama pohon palem dibelakang rumah.
Kedamaian alam ini menyusup kesela-sela pancainderaku. Aku ingin menikmatinya
lebih lama. Ingin menghirup angin segar
dalam-dalam agar memberikan kesegaran tersendiri di lubuk hati ini. Hujan
mengingatkanku pada Mas Aji suamiku, yang telah pergi selamanya. Kebiasaan Mas
Aji adalah menikmati kesegaran udara sehabis hujan.
“Karena rutinitas menikmati kesegaran alam setelah hujan dapat memberikan kedamain tersendiri bagi, Mas
Aji,” katanya enam tahun yang lalu.
Hari ini majikanku melarangku untuk masak, karena dia akan ada acara makan malam dengan kru-kru
Radio Warna. Majikanku bekerja sebagai penyiar berita di Radio Warna, Singapura.
Farida On nama majikanku. Dia dari etnis Malayu. Keseharian kami pun
menggunakan bahasa melayu.
“Murni!
Saye nak berangkat sekarang ye, yakin awak(1) tak nak ikut makan
malam ma keluarge kite?” tanya Farida On.
“Tidaklah Kak Farida, saya mau dirumah saja,”
jawabku. Begitulah aku memanggil majikanku. Ia tidak suka dipanggil Mam. Dia
lebih suka dipanggil Kak Farida.
“Ya sude, awak
jaga rumah hati-hati ya, Murni! kami
cuma sekejap(2) je, lepas tu pulang,” sambil berjalan dan mengambil handbag-nya, ”jom(3) kita
berangkat sekarang!” berlalu menuju pintu.
****
Aku
duduk diruang TV. Kusandarkan kepala di kursi santai dan aku mengambil remote langsung kupilih chanel yang aku
suka. Ketika aku melihat di chanel pertama ada anak kecil maka kupilih chanel
tersebut. Anak kecil yang seumuran dengan anakku Chika. Anak kecil yang berada
dalam pangkuan ibunya dan anak itu sedang membaca sebuah komik. Sungguh anak
itu mengingatkanku pada Chika peri kecilku, yang akhir-akhir ini merengek
memintaku pulang.
“Mama! Chika mau Mama pulang. Pengambilan
lapot kemalin Chika dapet juala catu. Untuk pengambilan lapot akan datang,
Chika mau Mama yang ambil kayak temen-temen Chika,” begitulah gaya cadelnya Chika saat bertelepon
denganku.
“Sayang, mama tidak bisa janji. Mama disini
kerja, supaya Chika bisa sekolah yang tinggi dan Chika bisa menjadi dokter yang
nyembuin orang sakit. Bukankah begitu Chika peri kecil mama?”
“Tapi Chika
pengin Mama mandiin Chika kalo pagi-pagi ma,” jawab peri kecilku memelas.
“Chika
‘kan sudah besar, masak mau minta dimandiin sama Mama,” bujukku waktu itu.
“Tapi kan mama gak pelnah mandiin Chika?”
Suaranya mulai parau.
Tapi
biasanya jika sudah begitu, maka aku bujuk dia agar bisa mengerti posisiku. Dan
biasanya aku berjanji akan segera pulang lebih cepat Namun janjiku hanya
membuat Chika peri kecilku kecewa karena terlalu seringnya aku berbohong.
Sebenarnya bukan Chika saja yang merasa rindu untuk saling bersua tapi aku
juga. Aku sebagai ibunya, apabila Chika sudah memintaku pulang dan sampai
menangis, maka tulang persendianku terasa ngilu. Pernah ketika Chika berkata
seperti ini:
“Chika
bukan anak Mama ya? kok Mama, Chika culuh pulang celalu bohong,” suara Chika
terdengar lantang, mungkin dia sedang mengungkapkan kemarahannya, pikirku.
“Chika…..kamu
ngomong apa sih?” ibuku segera mengambil alih pesawat telepon dan menasehati
Chika.
Hatiku
terasa berdesir ketika Chika meluncurkan perkataan itu padaku. Tentu Chika anak Mama, peri kecil mama yang
paling Mama cintai.Kamu adalah mata hati Mama yang peling berharga, nak. Tapi
kamu belum tahu jika Mama menjelaskan kenapa Mama tidak mau pulang. Batinku
berontak.
Aku
sangat merindukanya. Aku ada keinginan untuk pulang, namun aku takut. Masih
kuingat dulu ketika majikanku berlibur
ke Bali, aku diajak ke Indonesia dan aku memilih pulang menemui Chika.
Tapi apa? Wajah Chika yang sangat mirip
Mas Aji seolah-olah menghantuiku. Aku
benar-benar terpukul akan kepergian Mas Aji yang sangat menyayangiku. Waktu itu
umur Chika masih enam bulan. Ketika Chika telah berumur setahun, maka aku
memutuskan ke Singapura. Baru tujuh bulan di Singapura, majikanku mengajakku
berlibur ke Bali, tapi aku meminta izin
untuk pulang kekampungku saja, dan alhamdulilah waktu itu diizinkan. Saat aku
pulang menemui Chika, bayang-bayang Mas Aji selalu datang yang mengakibatkanku
terjatuh sakit. Sehingga keberangkatanku ke Singapura diundur. Untung saja
majikanku yang baik itu mau menungguku untuk bekerja disitu lagi.
***
Kusiapkan sarapan pagi dengan menu
sandwich dan susu. Kuambil sehelai roti tawar lalu atasnya kuberi telur goreng,
kornet beef, selada dan sedikit mayonese. Kusiapkan dimeja makan dan dimeja itu
telah menunggu kedua majikanku dan tiga anaknya yang sudah bujang.
“Eh Murni, awak tadi malam tak datang sayang
tau. Banyak fans-fans yang buat perut saye sakit karne ulah mereka tu,” Kak Farida tiba-tiba bersuara dan menggigit sandwich. Sementara majikan
laki-laki hanya mengangguk-angguk tanda
membenarkan perkataan istrinya.
“Mereka lucu
ya, kak?” Tanyaku basa-basi,” majikannku
mengangguk-angguk dan tersenyum.
***
Kubersihkan kamar majikanku. Kamar yang selalu rapi, dan aku hanya sedikit membereskan buku-buku
tertentu saja yang tergeletak di meja. Majikanku memang orang yang super bersih
dan rapi. Namun ia jarang sekali merepotkanku. Tiba-tiba ponselku berbunyi.
Dilayar tertera nama “Chika siperi kecilku”.
“Hallo sayang,
ada apa kok pagi-pagi telepon Mama? Apa mbah putri yang menyuruh Chika?”
tanyaku memberondong.
“Ma,
dua minggu lagi Chika ambil lapot. Chika mau Mama yang ambilin!” sela Chika
tanpa memperdulikan pertanyaan-pertanyaanku.
“Sayang, ‘kan ada mbah putri yang bisa ambilin
rapotnya Chika,” rayuku.
“Kemarin aja Chika ambil cendili, Ma. Mbah
putri(5) pergi kesawah sama
mbah kakung(6),” terdengar olehku suara Chika yang memelas.
“Ya, sudah nanti Mama pikirin lagi ya?”
“Pokoknya Chika gak mau dengel lagi Mama bo’ong
ma Chika lagi. Chika pingin, Ma kayak temen-temen. Meleka lapotnya di ambilin
Mamanya. Saat Chika kedepan kelas untuk ambil piagam penghalgaan, Chika cendili,
Ma,” Suara peri kecilku makin melemah. Aku ingat kata ibuku, semester kemarin
Chika memang meraih juara satu di kelasnya dan murid dengan nilai tertinggi
disekolahnya. Dengan nilai rata-rata 9,8 angka yang fantastis.
“Ya udah…Chika hari ini sekolah ‘kan? Sekarang
Chika buruan berangkat ya sayang! Nanti Chika terlambat lho!” bujukku.
“Ya udah ma.
Chika yakin cekali untuk kali ini pasti Mama bisa ngambilin lapotnya Chika.
Chika yakin cekali. Assalamu’alaikum, Ma,”
aku kernyitkan dahi, demi mencerna apa yang dikatakan Chika. Terkadang
aku merasa heran kenapa sudah kelas satu sekolah dasar tapi gaya bicaranya
masih cedal.
Kenapa Chika
yakin sekali jika aku yang akan mengambilkan rapotnya? Aku harus pulang,
memenuhi permintaan Chika untuk kali
ini. Aku bingung. Ah, aku putuskan untuk tidak pulang saja. Bukan aku tidak
sayang anak, tapi jika aku melihat Chika, bayang-bayang Mas Aji selalu
dipelupuk mataku.
Padahal
perpisahanku dengan Mas Aji telah
menginjak enam tahun. Namun, bagiku sangat sulit untuk melupakannya. Sehingga
hatiku pun telah tertutup untuk selama-lamanya. Pernah suatu ketika Kak Farida
On akan mengenalkanku pada adik iparnya, tapi aku menolak dengan sopan. Untung
saja Kak Farida On memaklumiku.
***
Aku
berjalan mencari-cari pakaian anak di Bugis Road. Disinilah tempatnya biasa
anak-anak Indonesia berkumpul. Selain itu juga patokan harga untuk para pemburu
baju cukup dibilang miring. Pohon pinang yang berjajar rapi disetiap jalan terlihat
seperti barisan tiang-tiang yang menukik keatas dan akan menjulurkan
pucuk-pucuk daunnya ke gedung-gedung yang tinggi.Tiba-tiba ponselku berbunyi.
“Hallo,
Assalamualaikum Ibu,” kubenarkan tas
tanganku yang akan merosot kelengan.
“Murni, Chika sakit panas. Panasnya sangat
tinggi, Mur. Tiap hari hanya namamu saja
yang ia sebut. Aku takut Mur. Tubuhnya mengejang-ngejang,” belum selesai ibu
bercerita, aku lemas,dan tas tanganku jatuh. Dunia terasa gelap. Dan aku tidak
tahu apa yang terjadi. Yang kutahu hanya
kelam, dan bayang-bayang Chika. Tidak terasa secara refleks bibirku memanggil
nama Chika.
“Awak da ok ‘kan Murni?” tanya kak Farida saat
aku terbangun dari pingsan, tadi, saat awak pingsan, mak awak telepon
berkali-kali, akhirnya saye jaweblah. Saye sekarang taulah duduk persoalan
awak,” lanjut Kak Ferida.
“Ya kak, sebenarnya Chika sangat merindukan
saya. Terakhir dia berbicara di telepon bimbit(6), dia mau saya
mengembilkan hasil ujian dia. Tapi dua hari lagi laporan ujian itu dibagikan, saya
belum juga pulang. Apakah ini teguran saya kak?” kutelan ludahku yang terasa
seperti sebongkah batu di kerongkongan.
“Ada baiknya sekarang awak berkemas, besok
awak pulang. Mungkin Chika saat dalam keadaan
kritis dan sangat membutuhkan awak.”
“Tapi mendadak
sekali Kak Farida, kita ‘kan belum memesan tiketnya Kak,” tanyaku dan
kukerutkan kening menjadi tiga lipatan.
“Tenang! pasti bisa,” Kak Farida menepuk-nepuk
bahuku, dan berlalu.
***
Aku
melaju ke Bandara Changi Airport menggunakan taxi umum. Tadi Kak Farida memang
mau mengantarkanku, tapi aku melarangnya. Karena aku tahu hari ini dia on air di Radio Warna. Jadi, aku tidak
mau merepotkannya. Setelah sampai di bandara, aku check in dan segera memasuki departure
gate(7). Aku menunggu pesawat di ruang B4, dan aku memilih
tempat duduk yang agak lengang.
Aku
segera membuka fotonya Chika. Peri
kecilku memakai gaun orange dengan sepatu kaca mungilnya, jadi seperti
cinderela cilik. Aku tersenyum sendiri. Rambutnya yang berwarna cokelat dan
berponi dibiarkan tergerai dan diberi jepit pita kecil. Cantik. Tiba-tiba saja
layar ponselku padam. Aku terkejut bukan main. Bukannya tadi malam sebelum
pergi, aku charger dulu hanphoneku. Kenapa tiba-tiba mati? padahal sebelumnya
tidak pernah seperti ini. Apa ini pertanda? Oh tidak. aku tidak mau berpikir
seperti itu.
***
Perjalanan
menuju Rumah Sakit Dokter Karyadi, Kendal. Ketika sampai, betapa sakit hatiku,
remuk hatiku, ketika salah satu suster berkata bahwa Chika telah dibawa pulang.
Aku bertanya apakah Chika telah sembuh, malah suster itu tertunduk. Aku tidak
mengerti apa yang disembunyikannya dariku.
Persis
di depan rumahku, kulihat bendera kuning melambai-lambai dengan tenang. Banyak
orang hilir-mudik dirumahku. Wajah-wajah kesedihan terukir dipandanganku.
Hatiku mulai berkecamuk. Aku melangkah
gontai menuju pintu rumah. Orang-orang terkejut melihatku. Kuletakkan koper
besarku begitu saja. Aku menghambur kedalam rumah. Kumencari Chika di kamar, di
dapur, di ruang tamu, tapi tidak kutemukan. Aku berteriak-teriak memanggil nama
Chika dan orang-orang menenangkanku.
Ketika ibu melihatku langsung memeluk dan mengantarkanku untuk menemui Chika,
katanya. Kulihat Chika terbujur kaku sedang dimandikan. Senyum yang manis dengan lesung pipit dikedua pipinya
seolah-olah dia menyambut kedatanaganku. Langkahku gontai. Namun aku tetap
berusaha tegar dan berjalan menuju jasad putriku. Aku menangis sejadi-jadinya
dan meminta kepada orang yang memandikan Chika, agar posisinya digantikan aku.
“Chika sayang, Mama datang, Nak. Mama penuhi
janjimu. Lihat Mama penuhi janjimu ‘kan?
ayo bangun sayang!” kugosok tubuh Chika dengan lembut. Air mata ini tak dapat
kuhentikan. Menetes dan mengalir bersama air pemandian Chika,” sesekali aku
lirik orang-orang dan diantara mereka aku melihat ibu tua mengelus-elus dadanya
dan mengusap air mata yang mulai menetes dengan punggung tangannya.
“Chika,
besok Mama akan temenin Chika ambil raport ya? Chika jangan tinggalin Mama, Nak!
Chika jangan pergi! Chika Mama pulang untuk mengobati kerinduan Chika. Ayo
bangun nak!” tangisku tambah menjadi-jadi dan ibu langsung mendekap dan
membawaku kekamar.Tanaganku masih saja menggenggam tangan mungil Chika, namun
ibuku tetap memaksa dan menarik tanganku dan akhirnya tangan Chika terlepas
dari genggamanku.
***
Aku tadi masih ingat
betul, saat mengambil rapot dan suara Chika dinobatkan sebagai juara pertama
dan aku pun melangkah kedepan. Jika dulu Chika seorang diri mengambil rapot, kini aku seorang diri
mengambil rapot. Jika dulu Chika sedih dan iri pada teman-temannya yang
didampingi ibunya, sementara ia
tidak. Namun kini aku sedih dan iri
melihat dua ibu disampingku di dampingi oleh anaknya. Guru Chika yang
menyalamiku tersenyum dan memelukku. Dipelukannya aku merasakan getaran tangis
yang ditahan-tahan. Aku tahu Bu Indri juga terpukul atas kepergian putri
kecilku. Suasana sekolah Chika memang terlihat muram karena bintang sekolahnya
telah pergi untuk selama-lamanya.
Kini aku berada di kamar Chika yang tak berpenghuni. Dibalik pintu ada
tas Chika digantung, kuambil tas itu, lalu aku rengkuh dan aku pejamkan mata
terasa ada bulir-bulir kehangatan yang keluar dari kedua mataku. Lalu aku ambil
baju seragam sekolah Chika yang
tergantung persis disamping tas tadi. Aku peluk, aku ciumi, masih tersisa bau
khas keringat Chika. Aku hirup dalam-dalam baju itu dan seketika bau keringat
itu merasuki kerongkonganku. Aku peluk erat-erat seakan aku memeluk
Chika.Tangisku tiada henti. Aku menyesal dengan semua ini. Betapa aku hanya
mementingkan egoku. Aku tidak memperdulika kerinduan Chika yang menggebu,
kepadaku. Yang pada akhirnya kerinduan itu menguap dan ia bawa pergi untuk
selama-lamanya. Aku bayangkan saat aku menggendong Chika 5 tahun yang lalu. Aku
bayangkan saat ia membujukku untuk pulang agar aku mengambilkan rapotnya dan
memandikannya. Semua aku telah memenuhi permintaannya. Namun aku tidak memenuhi
kerinduannya yang menggebu. Aku tersesak, tangisku pecah, aku menjerit lalu
dunia ini terlihat berputar dan hitam pekat yang mampu kulihat. (Diani Ramadhaniesta)
Keterangan :
1.Awak
:kamu
2.sekejap
:sebentar
3.Jom
:mari
4.Mbah putri
:nenek
5.mbah kakung
:kakek
6.Telepon bimbit
:hanphone
7.Departure gate :
keberangkatan