Oleh: Diani Ramadhaniesta
Eli segera
menemui daidai, ketika majikannya itu memanggilnya. Ia lalu duduk di kursi kayu
dan meletakkan kedua tanganya keatas
meja. Seperti anak sekolah yang di panggil guru BP karena
kesalahannya. Daidai menatapnya
tajam. Namun Eli lebih memilih menunduk dan sesekali mendongakkan kepalanya
untuk melirik wajah majikannya. Lalu ia tertunduk lagi menatap lantai kayu,
sembari memainkan jari-jari kakinya. ”Duh mau ngomong apaan sih kok cuma
pandang memandang aja,” batin Eli.
Lalu Eli
memalingkan pandangannya keluar jendela. Jendela sebesar layar lebar, melukis
kabut-kabut yang menyelimuti kota-kota Hongkong. Musim dingin dengan temperatur
udara 6 derajat selsius membuat bibir Eli pecah-pecah, bahkan berdarah.
Sesekali Eli mengulum bibirnya jika dirasa telah mengering.
“Stop! Don't do it like that(1)”
tiba-tiba si daidai bersuara dan menyentakkan Eli serta merta .
“Bibirku
sangat kering mom,” jawab Eli.
“Kamu harus
memakai lipsgolls, ok!” timpal majikannya.
Sesaat hening
kembali. Entah apa yang akan dibicarakan daidainya kepada Eli. Apakah Eli akan
diinterminit, pertanyaan hati kecil Eli. Bukankah akhir-akhir ini Eli sering
bertengkar pada majikan perempuannya. Eli bingung dan salah tingkah dengan ulah
majikan pada Eli.
“Eli!” majikan
memanggilnya dan Eli segera menatap lekat wajah majikan. ”Jum'at besok kamu
harus dirumah, Bobo(2). Karena saya akan belibur ke Eropa.”
Suara yang ditunggu-tunggu Eli keluar juga. Namun Eli sangat tidak menginginkan
majikannya berkata seperti itu. Eli segera menjenjangkan posisi duduknya
yang sedikit membungkuk, matanya
membelalak dan mulutnya menganga.
“Kenapa kamu
terkejut Eli?”
“
Emmmm....saya tidak bisa mom. Saya tidak mau di rumah bobo selama mom, di
Eropa,” Eli tertunduk dan menggigit bibir bawahnya.
“Why, Eli? Jika saya ke Eropa, apa yang akan kamu
kerjakan jika kamu tidak di rumah Bobo. Kamu free,” sanggah majikan Eli.
“Tolong mom! saya tidak mau kesana,” Eli
mendekapkan kedua tanganya, memohon pada majikannya.
“Pokoknya kamu harus kesana. Sudah sekarang
kamu buatkan saya makan siang. Sebentar lagi saya akan keluar!” majikan Eli
beranjak dari duduknya dan berlalu.
***
Eli terdiam di kamarnya memikirkan
kejadian-kejadian saat dia di rumah bobo. Dia ingat betul katika dia
mengantarkan Bobonya jalan-jalan sore, bobo selalu pamer pada teman-temannya
atau bahkan pada orang yang tidak di kenal sekalipun. Jika Eli adalah pembantu
anaknya dan untuk sementara bekerja di rumahnya. Itu sangat bahaya. Jika
ternyata yang diajak bicara bobo adalah seorang polisi pasti Eli masuk penjara
karena bekerja tidak sesuai alamat yang tercantum di kontrak kerja. Hal yang
membuat Eli kesal adalah ketika Sang Bobo memaksa Eli untuk memakan daging
babi. Eli menolak mentah-mentah. Saat Eli meminta pada bobo agar Eli yang
memasak makan malam, bobo ribut tidak karuan. Eli mengancam jika bukan dia yang
masak, maka Eli tidak akan ikut makan malam. Akhirnya bobo mengizinkan Eli
masak. Eli merdeka. Dia merasa menang. Masakan terhidang di meja dan dia pergi
mandi.
Waktu makan malam pun telah tiba, Eli merasa
ada yang aneh. Hatinya tidak enak. Namun dia tepis perasaan itu. Dia makan
dengan lahap. Sugguh lezat masakannya. Namun ternyata perasaan hati yang tidak
enak itu dikarenakan bobo mencampurkan babi kedalam masakannya. Melihat babi di
dasar piring, dia langsung membuang nasi yang masih tersisa di mangkoknya.
Secara refleks, Eli muntah-muntah hingga perutnya terasa melilit.
Keesokan harinya Eli pulang ke rumah majikan. Tidak perduli bobo memberi izin atau
tidak. Eli sangat jengkel. Kemarahannya tidak bisa di bendung. Kesabarannya
telah hilang. Pulang adalah cara terbaik. Entah mengapa setelah dari rumah
bobo, Eli menderita panas yang sangat tinggi selama seminggu. Padahal dia di
rumah bobo Cuma tiga hari. Sebelumnyua dia juga selalu menderita setelah dari
rumah bobo. Seperti tiga bulan yang lalu dia juga ke rumah bobo, dan pulangnya
Eli menderita sakit perut.
Semua itu
membuat Eli trauma. Dia takut kejadian yang sama bakal terulang lagi. Dia tidak
mau jika bobo sampai memberi makan babi lagi dan menyebabkannya sakit. Dia ingat sekali saat terkulai lemas
tidak ada satu orang pun yang menemaninya. Soal makan pun dia bergantung pada
temannya yang berada di bawah flatnya. Jika sudah seperti ini, maka Eli akan
merindukan ke dua orang tuanya. Kerinduan itu menyebabkan air mata Eli
terkuras.
***
Pagi sekali Eli menderet koper ukuran sedang.
Mungkin dia akan ke rumah bobonya. Jalannya cepat. Aku berusaha memanggilnya
dan dia menoleh. Eli menatapku nanar. Sepertinya dia habis menangis. Aku kejar
dia namun tiba-tiba tanpa ku sadari ada segumpalan asap mengepung tubuhnya dan
berputar-putar mengitari tubuhnya. Eli berteriak. Aku berusaha menolongnya,
tapi sia-sia. Eli di bawa gulungan asap membumbung tinggi ke langit. Aku
berteriak memangil-manggil namanya. Tiba-tiba sebuah tangan dari arah belakang
memegang pundakku, dan aku menoleh.
“Eli…..?” kukernyitkan dahi dan aku ingin
memeluknya. Namun Eli tersenyum kaku dan menghilang. Aku panik ketakutan dan
menjerit sekuatnya.
“Cece…cece…kenapa? ayo bangun!” tiba-tiba
anak asuhku membangunkan tidurku. Aku
peluk mui-mui. Keringatku bercucuran. Aku jadi teringat akan percakapan tadi
sore, Eli mengatakan bahwa dia besok pagi akan segera ke rumah bobo. Apa yang
akan terjadi dengan Eli? Kenapa aku bermimpi seperti itu? Aku tidak bisa
melanjutkan tidur, aku hanya memikirkan Eli, sahabat terbaikku. Ada apa dengan
Eli? Semoga dia baik-baik saja.
Keterangan:
1. Stop! Don’t do it like that : Berhenti! Jangan lakukan
seperti itu
2. Bobo :
Panggilan untuk nenek yang biasa digunakan orang Hong Kong
Cerpen ini pernah dimuat di Berita Indonesia edisi Desember 2012
Cerpen ini dimuat di Berita Indonesia
edisi Desember 2012