Headline

Deja Vu Ku


Oleh: Diani Ramadhaniesta

Tanganku tidak berhenti dalam merangkai kata. Terus bekerja di papan keyboard sementara imaginasiku memainkan tokoh-tokoh cerita yang kutulis. Walau waktu telah menunjukkan angka 12 malam, rasa kantuk yang biasanya menggoda kali ini aku lebih asyik bermain dalam dunia imaginasi. Merangkai kata dan menyusun kalimat menjadikan satu cerita yang hidup.

            Dari ekor mataku aku melirik Mas Hendi yang masih terjaga di depan komputernya juga mengecek naskah scenario untuk pembuatan film laga tiga hari lagi. Ketika aku menoleh, mas Hendi yang juga duduk di kasur dia balas menolehku dan senyum lesung pipitnya itu menyebul begitu manis. Terkadang aku tidak menyangka jika seorang sutradara ternama ini bisa menikahiku yang hanya seorang penulis. Mungkin juga aku sedang memainkan peran sesuai cerita yang telah kubuat beberapa puluh  tahun yang lalu. Cerita tentang jatuh cintanya aku kepada Mas Hendi dan aku berkhayal dan kutulis khayalanku hingga apa yang kutulis kini telah menjadi nyata.

            “Jika menulis berhari-hatilah dalam memainkan peranan tokohnya. Terkadang apa yang kita tulis akan menjadi nyata,” celetuk Mas Hendi tiba-tiba sambil mengusap rambutku yang telah berubah warna. Tidak ada yng pernah berubah dari sikap Mas Hendi terlalu mengistimewakanku walau umurku telah dimakan usia. Masih selalu sama. Mesra.

            Aku mengangguk pelan dan seraya mengenggam tangannya yang mulai mengusap pipiku yang kini tidak kencang lagi. Telah ada keriput di sana.

            Aku memulai meneruskan naskah novelku. Tiba-tiba imaginasiku terpenggal dan berhenti lagi. Aku tidak bisa meneruskan tulisan ini. Buntu. Aku terlalu asyik mengembara pada memoriku bersama Mas Hendi puluhan tahun yang lalu. Teramat manis. Hingga kini masih tetap utuh. Lelaki blesteran Belanda Sunda itu selalu mentuan-putrikan aku. Betapa beruntungnya aku mendaptkan suami seorang surtradara kondang di Indonesia.

            Aku langkahkan kaki meninggalkan suamiku yang masih konsentrasi pada pikirannya. Aku akan mengahabiskan waktuku malam ini yang tak dikunjungi rasa kantuk untuk mencari buku yang berisikan cerita masalaluku bersama Mas Hnedi. Buku antologi yang di dalamnya ada ceritaku dan cerita itu kini menjadi nyata.

            “Kau ingin kemana, sayang?” Tanya suamiku.

            “Ke perpustakaan kecil kita, sayang,” jawabku penuh dengan kelembutan. Sembari membuka pintu meningalkan dia sendirian yang terlihat tidak rela akan kepergianku yang hanya sejenak.

                                                                        ***

            Kubuka pintu perpustakan peribadi yang ada di rumahku. Di rak yang kupesan khusus berjejer rapi buku-buku koleksianku dan juga Mas Hendi. Ada juga buku buku karya tulisku yang kupisahkan sendiri tentunya. Aku mulai meniletiti buku yang aku cari. Buku yang berisi imaginasiku bersama Mas Hendi. Dan buku antologi yang berjudul “Cerita dari Penulis” itu ada cerpenku yang berjudul “De Javu Penulis.” Antara bahagia dan penasaran keinginanku untuk membaca kembali tulisanku yang kini menjelma nyata. Aku selalu bersyukur karena setelah buku ini terbit menjadi bestseller, maka dengan mudahnya aku mendapat cinta mas Hendi.

            Aku tarik buku itu dari rak dan kuusap sedikit debu yang menempel. Kubuka pada halaman terkahir tentang biodata penulis. Aku yang dulu sangat lugu dan manis. Kerudung hitam yang membalut mukaku saat itu sepadan dengan warna cokelat kulitku. Kumencari ceritaku sendiri dan mulai membaca paragraph demi paragraph. Aku mulai masuk ke dalam imaginasiku yang telah tertuang pada sebuah buku antologi.

                                                                        ***

            “Kau yakin ingin minta endorsement sutradara muda itu untuk buku novelmu yang akan kau terbitkan,  Sofia?” kuanggukkan kepala. Penuh yakin. Ini satu tantanagan. Berharap aku juga bisa belajar banyak untuk dunia perfilmnan suatu saat nanti darinya.

            “Kau tahu bulan depan ia akan ke Semarang untuk mnegisi acara workshop kepenulisan scenario di Semarang,” lanjut Evi sahabat baikkku. Mataku terbeblaaak. Aku seperti mimpi dan hampir tidak percaya. Sutradara film yang semua filmnya itu teramat kusukai. Dan kuberharap karya novel-novelku atau cerpenku dapat difilmkan. Anganaku mulai melambung jauh

            “Aku harus mendaftarkan diridan mendapatkan kursi di depan. Atau jika bisa aku bisa duduk di samping narasumbernya,” celetukku penuh semangat. Kuraih tas sekolah dan berlari ke gerbang untuk pulang lebih awal agar segera mendapatkan jatah duduk paling depan untuk acara workshop menulis scenario itu.

            Aku berhenti dan menghela nafas penuh arti ketika cerita cerpenku telah kubaca sampai di sini. Kututup buku yang tengah kubaca dan kumulai meraba memory yang pernah singgah itu. Indah. Ingin kuulangi lagi, Namun, ah hidupku kali ini lebih indah daripada harus mengulang memory yang dahulu. Mendapatkan cinta suamiku adalah keindahan yang tak terbilang.

            “Skenario merupakan naskah cerita yang mengurutkan adegan tempat, keadaan, dan dialog dalam kontek struktur dramatic. Sementara fungsi scenario itu sendiri merupakan naskah sebagai petunjuk kerja dalam pembuatan film,” urai Mas Hendi

Aku mendengarkan sutradara muda yang bernama Hendi di depanku kali ini menjelaskan tentang skenario. Kutulis keterangannya yang lebih penting ke dalma buku kecilku. Aku termat antusias dengan penjabaraan di acara workshop kali ini.

            “Adakah yang di sini seorang penulis novel maupun cerpen?” Tanya Mas Hendi. Dadaku bergemuruh dan ingin rasanya aku menunjuk jari. Namun rasa gemuruh ini telah melumpuhkan tanganku utnuk mengatakan jika aku ini adalah seorang penulis.

            “Sofia Arwana, Pak,” Suara Evi lantang sembari menunjuk ke arahku. Dadaku semakin tak karuan. Kuataur nafas, Ya Tuhan, ada apakah ini. Teramat mengagumi karyanya kah hingga aku seperti ini? Atau ada benih cinta yang tak kusadarai?” ingin aku berlari dari ruangan ini yang terasa membuat gigil di sekujur tubuhku.

            “Sofia, Sofia Arwana yang sangat kusukai tulisannya itukah?” tanyanya penuh wibawah.
           
            Aku hanya diam. Malu. Kurasa mukaku sedikit panas menahan malu.

            “Jika kau mau, lusa kau bisa ke Teater Pelangi dibawah asuhanku. Dan kebetulan aku juga sering membaca  cerpenmu di Kompas dan aku juga ada satu novelmu yang kubeli di Gramedia Ciputra beberapa bulan lalu. Semoga kita bisa bekerja sama” jelasnya panjang lebar tanpa kumengajukan pertanyaan.

            Benarkah seorang sutradara yang kukagumi karyanya ini juga menyukai karyaku? Jika iya dan benar perkataannya betapa beruntungnya aku.

            “Apakah emailku sampai untuk meminta endorsement darimu, Pak?” tanyaku gugup. Dan pertanyaanku kali ini membuat beberapa orang di ruangan menahan tawa. Tentu saja pertanyaanku menyeleweng dari apa yang di jelaskan dan dari apa yang ditanyakan padaku.

            Aku menahan geli ketika aku membaca ceritaku sampai di lembar yang ini. Detik jam telah menujukkan angka 2 dini hari namun rasa kantuk entah mengapa kali ini benar-benar tidak menghampiriku. Aku membuka lembar beikutnya.

                                                                                    ***

            Matahari baru saja menyembul dan sinarnya masih terasa hangat di kulit. Mobil dan motor sudah berlalu lalang, suara klakson bersahut sahutan. Penjaja asongan mulai berteriak-teriak untuk menarik pelanggan. Aku dengan teliti membaca alamat Teater Pelangi milik Mas Hendi.

            Aku masuki gedung yang tertera seperti di alamat yang sedari tadi berada di genggamanku. Kumasuki sebuah lift dan mengantarkanku di lantai 10 dan di sana kutemui sebuah ruangan yang lebih ramai sedang mempersiapkan untuk syuting. Aku merasa tidak percaya diri atas pakaian yang membalutku. Berbeda dengan mereka. Ah, aku teramat takut menjadi pusat perhatian maka kubalikkan tubuh untuk segera beranjak dari tempat itu.

            “Sofia!” suara yang teramat kukenal memanggilku.

            Aku menoleh, “Mas Hendi,” bibirku terkatup lagi.

            “Mari masuk. Ada satu peran yang mungkin bisa kau mainkan. Cocok sekali kurasa dengan karaktermu,” bujuk Mas Hendi. Dan kalian tahu semua mata-mata di seluruh rungan itu memandang aneh ke arahku. Sinis.

            “Perkenalkan ini Sofia yang akan memerankan Almera seorang tokoh penulis,” Mas Hendi mengangguk ramah sekali padaku.

            “Ooooh, apa tidak salah? Timpal salah seorang anak dengan pakaian ketatnya.

            “Sofia kebetulan penulis. Nama penanya  Sofia Arwana.” Anak yang berargumen tadi terdiam malu.

            “Oh, ini Mbak yang karyanya paling aku sukai itu.”

            “Ya Tuhan, gue gak nyangka banget gue ketemu penulis yang karyanya kutunggu-tunggu di gramedia.”

            Mereka berhambur mendekat dan menyalamiku begitu tahu siapa aku. Ada beberapa artis yang masih dirias menoleh lalu membagi senyum manisnya.

            “Selamat bergabung,” begitu ketika tangan mereka satu persatu menggengam tanganku. Dunia terasa aneh. Kita dianggap akan ada karena sesuatu yang dimiliki kita. Seandainya tadi Mas Hendi tidak mengatakan jika aku ini adalah penulis, maka dapat kupastikan tatapan mereka masih sama. Sinis.

            “Sofia, kau akan menjadi Almera gadis penulis yang sama sepertimu. Dimana semua tulisannya menjadi nyata dan kelebihannya itu digunakan untuk meminta sesuatu hal dan hal yang diminta itu akan menjadi nyata,” Mas Hendi memaparkan dengan teliti.

            Hari yang kulalui saat bergabung di teatrer pelangi telah berganti hari dan berganti bulan aku masih betah bergabung bersama mereka. Hingga tak pernah aku sadari Mas Hendi melamarku untuk menemani jalan hidupnya. Aku tidak pernah menyangka jika mas hendi menyukaiku dari apa? Aku sama sekali tidak cantik. Tidak. Banyak artis artis yang mengelilinginya. Kenapa Mas Hendi memilihku  seorang penulis yang yang biasa-biasa saja.

            Aku berhenti pada halaman ini. Aku menarik nafas dalam-dalam. Yah, akhirnya setelah cerpen ini diterbitkan oleh penerbit terkenal dan dibaca orang banyak, entah mengapa saat itu pula Mas Hendi melamarku dan segera menikahiku. Aku memang  ternyata telah jatuh cinta pada Mas Hendi namun aku tidak pernah menyadarinya. Hanya doa yang selalu aku baca agar Mas hendi akan baik-baik saja. Lalu jika aku menulis dan menjadi nyata apakah aku berdosa dan salah?

            Gaun putih dengan mahkota indah di atas kerudungku itu telah menyihirku jika malam ini aku terlihat cantik. Cantik sekali. Mas Hendi seorang sutradara itu kini menjadi milikkku. Sempurna.

            Note: Cerita ini kutulis dengan melafalkan doa agar apa yang kuimpikan menjadi nyata. Nyata dan dia akan menjadi milikku. Mas Hendi salahkah aku seorang penulis mencintaimu. Seandai kisah yang kutulis ini menjadi nyata dalam hidupku seperti cerpen-cerpen lain yang kutulis telah mnjadi nyata seperti cerpen Lelaki Bertato, Uraian Rindu, Lelaki lumpuh dan lain lain. Seandai cerpen ini mampu menjadi nyata dan Mas Hendi akan menjadi milikku, maka apabila aku membaca ulang cerita ini dikemudian hari maka di hari itu pula semuanya akan berubah dalam hitungan detik. Berubah dalam hitungan detik. Mimpiku akan hilang. Hilang seketika.

            Kubaca note yang kutulis pada halaamn terakhir. Tanganku gemetar. Tidak.Tidak! aku tidak ingin apa yang kutulis pada halaman terkahir ini menjadi nyata. Aku masih ingin di dalam dunia mimpi bersama suamiku sang sutradara itu.

            “Kau sedang apa di sini? Kau tahu aku suamimu telah menunggu begitu lama, wanita tua,!

            Aku telan ludah terasa menelan duri. Apa yang kudengar barusan? Mas Hendi berbicara kasar padaku? Tidak. Tidak mungkin! Mas hendi tidak pernah seumur hidupku berbicara sekasar ini.

            “Kau dengar aku bukan?” tanyanya kembali

            “Sayang, bisakah kau berbicara lebih pelan. Kasihan Abiel cucu kita yang tengah pulas tidur, sayang,” kubujuk suamiku agar mampu menahan emosinya.

            BRAK

            Pintu perpustakaan yang masih terbuka ditutupnya keras-keras. Buku antologi yang masih kubaca terjatuh di lantai mengenai kakiku yang keriput. Pintu terbuka, dan  di sana kudapati anakku sedang berdiri. Monalisa dan menantuku memandangiku penuh arti.

                                                            ***

                                               


            

G+

Recent Articles

0 komentar for "Deja Vu Ku"

Leave a reply