Headline

Aku dan HIV/ AIDS

Oleh : Diani Ramadhaniesta


Langit malam Daegu cukup cerah, di sana ada banyak bintang bertaburan. Kota Daegu yang merupakan kota industri di Korea Selatan,  tampak sangat indah. Lampu-lampu kota yang terpancar menyembulkan kekhasan dari kota Daegu. Aku pandangi segala penjuru kota ini dari balkon flatku. Entah sudah pukul berapa malam ini, setidaknya aku ingin menikmati malam ini yang jarang aku nikmati. Aku ingin menghabiskan malam terakhirku di sini. Besok aku akan bertolak ke Indonesia dengan kepenatan yang tidak terkira. Mungkin pekerjaanku di Pabrik Tekstil yang berpusat di Daegu membuat badanku terasa remuk setelah 5 tahun aku bekerja di sini. Besok hari yang aku nantikan akan tiba untuk meninggalkan kota ini. Dan aku memutuskan untuk tidak kembali merantau. Aku akan membuka usaha kuliner bersama istriku. Sebuah restaurant yang menyuguhkan masakan Korea dengan kombinasi masakan Hong Kong. Ini salah satu impianku dan istriku, sebelum kami merantau.

            Apabila aku telah di Indonesia nanti, aku akan mempersiapkan penerbangan ke Korea bersama istriku. Bukan untuk merantau lagi, namun untuk berbulan madu bersama istriku. Maklum, walau usia pernikahan kami sudah 6 tahun, setelah ijab qabul istriku terbang ke Hong Kong secara mendadak, dikarenakan visanya telah turun. Setahun aku di Indonesia, akupun terbang ke Korea. Aku ingin mimpiku nantinya menjadi nyata untuk mewujudkan mimpi istriku ke Jeju di Korea  Selatan. Kota Jeju merupakan destinasi yang termahsyur untuk berbulan madu karena memiliki pemandangan yang indah, matahari terbit dan tenggelam begitu romantis. Iklim yang sejuk dan pantai yang berpasir yang menawan. Dan nantinya aku tidak akan melewatkan suatu pertunjukan hanenyo penyelam wanita yang mencari makanan laut segar dan patung kakik. Selain mewujudkan mimpi istriku, aku juga akan mengajaknya menyusuri jembatan termewah di Incheon mengunakan mobil sewaan tentunya.

            Begitu indah mimpi yang aku reka malam ini. Seperti apa rupa istriku sekarang setelah sekian lama kami tidak bersua. Aku pegang koran yang menutupi kakiku lalu dalam remang malam aku baca kembali  berita yang ada di koran tersebut. Berita yang sangat menyesakkan dada tentuya bagi perempuan yang curhat di rubrik curahan hati yang ada di koran. Berita tentang seorang wanita Hong Kong dengan suaminya yang bekerja di Malaysia. Istrinya saat di Hong Kong begitu setia terhadap suaminya, walau dia tahu dari kabar angin jika suaminya itu bermain perempuan namun dia tetap setia. Hingga akhirnya sesuatu yang tidak diinginkn itu terjadi, jika suaminya mengidap virus HIV/AIDS. Karena istri itu mengetahui sebelumnya jika suaminya terkena HIV/AIDS, dia menolak untuk menjalankan kewajiban yang semestinya sebagai seorang istri. Walau begitu, perempuan itu merawat suaminya. Hingga akhirnya perempuan itu hidup mejanda karena suaminya meninggal. Perempuan itu ternyata dijodohkan orang tuanya. Sementara, cinta yang ada di hatinya tidak tersampaikan, namun ketika pernikahan itu datang, dia baru tahu jika lelaki pujaan hatinya juga mempunyai perasaan sama kepadanya. Namun keduanya sulit mengatakan cinta walau itu ada. Sungguh beruntung lelaki yang mendapat tempat di hatinya. Perempuan itu bercerita di rubrik curhat yang ada di koran yang aku baca ini.

            Aku tidak tahu mengapa pikiranku sedikit terganggu karena cerita di koran ini. Hatiku benar-benar terganggu. Cerita perempuan ini terhadap masalalunya persis denganku. Tidak mampu mengutarakan isi hati karena takut dan malu. Hingga akhirnya aku yang seorang pemalu ketika pujaan hatiku itu menikah dengan lelaki lain hatiku begitu hancur. Hingga akhirnya datanglah perempuan yang  menyatakan cinta kepadaku dan menjadi pelabuhan terkahirku yaitu istriku yang saat ini juga berada di Hong Kong. Aku berharap istriku akan menjaga kepercayaanku yang selama ini aku jaga. Walau di Korea menyuguhkan berbagai macam kenikmatan yang sering dilakukan teman-temanku, namun aku dan beberapa temanku yang lain memilih untuk  mengisi waktu senggangkuku dengan kegiatan positif. Terkadang aku sedih jika kesalahan segelintir orang mengakibatkan cap jelek untuk yang lainnya. Karena setahuku TKI Korea dan Hong Kong terkenal kebebasannya sehingga sering kali mereka terperosok ke jurang yang tidak sepatutnya mereka lalui. Namun, menurutku prdibadi, dimanapun mereka berada tergantung individu yang menjalaninya. Apakah merika kuat dengan imannya yang selama ini mereka jaga semenjak di Indonesia ataukah tergiur dengan tawaran yang ada dan mengancurkan kepribadannya? Ah, sudahlah aku tidak ingin memikirkan hal itu lagi intinya tidak di Korea, tidak di Malaysia, tidak  di Indonsia jika orang ingin memilih jalan bejat itu tergantung pribadinya,

            Malam mulai beranjak menunjukkan waktu dini hari sudah cukup lama aku duduk di bawah langit malam. Bulu kudukku mulai berdiri diterpa angin. Cukup dingin. Aku langkahkan kaki menuju lift dan ingin segera melelapkan mataku yang mulai terkantuk-kantuk dan tidak aku tinggalkan koran lusuh yang menemaniku tadi. Barangkali saja koran ini berguna, pikirku. Besok aku akan bertolak ke tanah air dan bersua dengan istriku yang aku sayangi.

                                                                        ***

            Kutatap seraut wajah dihadapanku saat ini masih sangat cantik. Dia tertunduk dalam amarahnya. Istriku yang sekian lama aku setia untuknya begitu tega menghianati dan mencoba mengancurkan biduk rumah tanggaku. Aku hampir tidak percaya hasil tes dari dokter yang menyatakan aku terkena virus HIV/AIDS. Tentunya  aku menuduh istriku yang menebar virus ini dalam tubuhku. Jika tidak istriku siapalagi? Selama aku di Korea walau di mataku berkeliaran perempuan cantik nan saxy, namun imanku masih sangat kuat membentengi diriku. Mengapa istriku bisa tega melakukan ini padaku dan menularkan virus menjijikan dan mematikan ini kepadaku?

            “Mas, jangan salahkan aku. Aku tahu Mas main perempuan di Korea. Virus itu bukan aku yang membawa, namun Mas sendiri,” dia tetap saja berkilah.

            “Muri,  kau tahu betapa aku setia untukmu. Aku tidak pernah sedikitpun berpaling darimu. Namun, apakah ini balasanya?” jantungku berdegup kencang. Amarahku memuncak.

            “Halah!” Muri mengibaskan tangan kanannya dihadapnku, “Jangan munafik deh, Mas. Rata-rata lelaki yang sudah di Korea itu menjadi bejat. Termasuk kamu,” jari telunjuk Muri menunjuk ke mukaku.

            Perih hatiku mendengar semua tuduhannya, namun aku tetap bersabar, “Muri, kenapa setega ini kau pada suamimu,” aku tatap matanya dengan redupnya tatapanku.

            “Kita cerai, Mas. Besok aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Dan seminggu lagi aku akan segera kembali ke Hong Kong.”

            “Apa yang baru saja kau katakana, Muri? Tanyaku ingin memastikan kata-kata yang terucap baru saja.

            “Kita cerai. Paham!” Mata Muri menatap tajam penuh kebencian padaku.

            Sesak didadaku. Ingin aku muntahkan segala kemarahanku padanya. Dia yang salah mengapa dia tidak mengaku?

            Apa sebuah kesetian memang pantas dibalas penghianatan seperti ini. Rasanya aku tidak kuat menaggung cobaan seperti ini. Seandai aku lupa jika aku ini lelaki, maka akan aku tumpahkan seluruh air mataku. Aku pasrah dengan keputusan istriku dan meninggalkanku dalam kubangan penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Aku tidak mungkin menikah lagi dengan wanita lain setelah perceraianku nanti dan aku akan berhati-hati agar orang tidak tertular penyakitku.

                                                                        ***

            Aku terbaring di kamar tidur dengan luka kakiku akibat jatuh dari motor tiga hari yang lalu. Luka akibat goresan aspal yang menggerus betisku sehingga daging berwana putih terlihat begitu jelas. Aku tidak akan membiarkan jika ada orang akan membawaku ke dokter saat kecelakaan itu. Mereka ingin menyelamatkanku juga percuma. Karena virus HIV/AIDS telah aktif menggerogoti sistem kekebalan tubuhku, sehingga sel darah putih yang melawan penyakit telah lumpuh. Karena sel darah putih tidak mampu melawan virus HIV/AIDS. Sehingga dapat dipastikan 3 bulan kemudian aku akan terserang berbagai penyakit. Saat ini saja tubuhku sudah turun 7 kg. Aku tidak tahu pasti turunnya berat badanku akibat terlalu banyak memikirkan istriku yang meminta cerai padaku atau memang virus itu telah melawan sel darah putihku.

            Anganku menerawang lepas ke masa laluku saat istriku begitu sangat mencintaiku. Namun kini, dia telah mencampakkanku seperti sampah. Dia menghinaku karena virus ini, padahal virus ini ditularkan istriku sendiri. Ah, sudahlah aku ingin melalapkan mataku yang terasa perih ini mungkin dikarenakan kantuk yang bergelanyut di mataku. Ketika kesadaranku mulai memasuki alam mimpi, tiba-tiba ponselku berdering. Aku raih dan tetap mataku terpejam.

            “Hallo, Mas  aku Muri,” mataku yang masih menahan rasa kantuk tiba-tiba terkesiap seketika. Aku hampir tidak percaya jika yang ada diseberang sana adalah Muri, mantan istriku. “Mas!” ulangnya lagi.

            “Ya, Muri, ada apa?” tanyaku parau. Sungguh aku tidak bisa menyembunyikan perasan sedihku saat ini ketika mendengar suaranya.

            “Aku mau minta maaf, Mas. Atas kedurhakanku terhadapmu. Aku memang istri tidak baik. Saat ini adalah hari terakhirku melihat dunia, maka maafkan segala salahku, Mas. Aku memang suka berganti-ganti pasangan Pakistan dan Bule semenjak aku di Hong Kong. Aku serin keluar masuk hotel bersama setiap pasanganku. Maka aku pantas mendapatkan penyakit menjijikan ini, Mas,” suara Muri kian melemah dan isaknya mulai terdengar jelas. Aku pejamkan mata mencerna setiap kata yang terucap. Sunggu semurah itukah istriku?

            “Aku memaafkanmu, Muri,” ucapku tegas dan seketika itu pula aku tidak apa yang terjadi, tapi yang aku dengar seperti sebuah ganggang telepon terjatuh dan sambungan telepon Muri putus. Aku hanya bisa diam dan menerka-nerka kejadian apa yang terjadi di seberang sana. Aku diam cukup lama tak bersuara. Pikiranku kosong ke langit lepas.

                                                                        ***

            Seminggu telah berlalu semenjak kematin Muri. Luka dibetisku tidak juga kunjung sembuh, namun makin terlihat parah saja. Biasanya jika aku mempunyai luka dalam tiga hari saja luka itu telah mengering, namun ini tidak. Mungkin dikarenakan tubuhku telah menyimpan virus mematikan tersebut. Namun, aku hanya mampu berdoa dan pasrah dengan semua ini.

            Aku buka koran yang telah memuat isi curhatku. Curhat tentangku yang mengidap virus HIV/AIDS. Aku memang sengaja berbagi kisah dengan yang lain. Sementara alamat email koran ini aku dapatkan dari guntingan koran lama yang masih tetap aku simpan. Ternyata koran yang aku dapatkan di Korea dahulu kini berguna.

            Aku pandangi halaman rumah. Bunga matahari yang dahulu ditanam Muri kini telah berbunga. Enam tahun ternyata membuat bunga matahari berkembang biak cukup banyak. Bergerombol. Aku membayangkan jika saat ini Muri berada di sela-sela bunga matahari yang sudah hampir mirip perdu itu. Aku begitu merindukan Muri. Pikiranku tiba-tiba kosong entah kemana. Lama aku terdiam memandangi halaman rumahku sesosok wanita berjalan ke arah rumahku dengan tas cokelat di lengannya dan koran ditangannya yang masih terus dipegang. Tatapanku tidak lagi kosong, namun menagkap sosok wanita itu yang kini melangkah ke arah pintu rumahku. Wajah yang tidak asing bagiku. Tiba-tiba dadaku berdetak kencang seperti saat pertama kali aku merasakan perasaan yang tidak mudah aku nyatakan pada masalaluku, yaitu pada Gadis. Aku pandagi terus wanita itu sampai pintu rumahku diketuk olehnya. Aku membuka daun pintu dan sesaat mata kami bertemu. Keterkejutan ini tidak mampu aku hindari dan aku seperti merasa dalam alam mimpi. Aku bertemu dengan masalaluku kembali. Wanita di hadapanku ini adalah Gadis. Wanita yang menetap di hatiku untuk pertama kali.

            “Asslamualikum, Mas Agung,” sapanya ramah.


            “Walaikumsalam, Gadis. Kok kamu tahu jika aku beralamat disini?”

            “Aku mendapatkan informasi dari koran ini,” dia mengibas-ngibaskan koran dihadapannnya sambil tersenyum ramah. Sebuah bentuk lesung pipit menyembul diwajahnya. Dia terlihat begitu manis. Tidak banyak berubah dari Gadis. Dia masih tetap manis.

            “Aku malu denganmu, jika kau telah membacanya.  Oya, silahkan masuk, Gadis.”

            “Mas Agung dari dulu kau memng selalu menjadi lelaki pemalu, akupun begitu. Sehingga perasaan ini masih saja aku bawa hingga sekarang. Akhirnya melihat beritamu di koran aku berusaha mencari alamatmu dari pihak redaksi di media masa ini,” dia mengibaskan kembali koran di tangannya. Aku menoleh sekilas.

            “Aku telah salah menerima cinta Muri. Seandainya saja dahulu aku bisa mengugkapkan perasaanmu padamu,” aku tersadar jika bicaraku keceplosan. Kulihat raut wajah Gadis bersemu merah.

            “Tidak ada kata terlambat, Mas. Kau berucap seperti itu saat ini saja aku cukup bahagia sekali. Dan aku bersedia menjadi pengganti istrimu, Muri,” jelasnya panjang lebar. Ada rasa bahagia yang singgah di hatiku, namun segera aku tepis. Jika aku menerimanya menjadi istriku, maka berarti aku tega menularkan virus ini dalam tubuhnya.

            “Aku positif terkena HIV/AIDS, Gadis. Untuk menikah denganmu itu tidak mungkin. Aku takut kau akan tertular.”

            Muri diam sejenak kemudian dia membuka lembaran koran dan menariknya satu, “Mas, kau tahu cerita yang ada disini ini di rubrik curhat ini adalah kisahku sesungguhnya. Aku menggunakan nama samaran,” aku perhatikan selembar koran yang diberikan padaku. Aku hampir tidak percaya jika koran yang pernah aku temukan di Korea dan aku simpan hingga sekarang adalah merupakan  kisah Gadis. Mengapa nasib kami hampir sama, tapi bedanya Gadis tidak tertular virus ini.

            “Kau masih beruntung,  Gadis. Itu berarti kamu sehat dan mengapa kamu memintaku untuk menikah denganmu? Apa kamu tidak takut dengan virus ganas yang bersarang dalam tubuhku ini?”

            Gadis berdiri dan aku mengawasinya,”aku permisi kebelakang, Mas,” aku tidak tahu apa yang akan dilakukan gadis. Hanya saja dia melarangku untuk mengikutinya. Walaupun sesungguhnya aku menaruh curiga padanya. Ketika pikiranku kosong kembali dengan tiba-tiba luka di betisku terasa perih. Ada yang sengaja menyenggol . Aku lihat lukaku teraliri darah, namun bukan darahku. Darahnya Gadis. Aku melihat ketiga jarinya terluka. Gadis dengan sengaja melukai ketiga jarinya dan lukanya itu diusapkan di lukaku yang belum mengering. Kini aku paham maksudnya. Mengapa dia melakukan hal sebodoh ini? Itu artinya dia telah tertular virus ini karena lukanya disatukan dengan lukaku. Virus ini setahuku akan menyebar  dengan bertemunya luka dengan luka penderita.

            “Mas, sudah dipastikan aku juga terkena virus ini,” dia tertunduk lemah.

            Aku hanya terdiam memandagi Gadis yang masih saja tertunduk dihadapanku. Aku alihkan pandanganku ke halaman rumah tepatnya di gerobolan bunga matahari itu. Di sana ada wajah istriku menari-nari dan tersenyum padaku, lalu ia pergi begitu saja.



Cerpen ini pernah dimuat di Mjalah Holiday di Taiwan edisi 53 Februari 2013      



G+

Recent Articles