Headline

Jilbab Pertamaku



 Kejadian di Masjid Pondok Pesantren Hidayatullah, Tanjung Pinang, benar-benar membuat peserta pesantren kilat yang di selenggarakan SMPN 2 Gunung Kijang, Tanjung Pinang, menimbulkan tangisan yang begitu menyayat hati. Aku tidak bisa tertidur dan aku pun menangis seperti teman-teman. Kami mengingat semua petuah Pak Kyai yang berceramah tentang hukum orang yang tidak berjilbab. Walau beliau melihat kami saat itu menggunakan jilbab, namun dalam lingkungan sekolah kami tidak berjilbab. Mungkin saja beliau mengetahuinya dari Pak Muhroji, guru agama kami.

 “Siti, aku mau putuskan akan berjilbab. Nanti seusai liburan sekolah aku mau memakai jilbab untuk yang pertama kalinya,” aku memulai membuka pembicaraan pada Siti, anak dari guru agamaku.

 “Aku juga Dila. Aku InsyaAllah akan memakai jilbab,” Siti menggigit bibirnya, tangisnya meledak kembali.

 “Teman-teman, aku harap tangisan kalian bukan tangisan buaya! Semoga kalian sepulang dari Pesantren ini kalian akan segera berubah membentuk pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Ternyata pesantren kilat yang diadakan sekolah kita sungguh membawa hikmah,” aku berbicara pada teman-temanku yang masih sesegukan.

  “Ya, Dila betul sekali,” timpal Eni.

             “Aku setuju, Dila,” sahut Siti.

                                                                     ***

  TUT…TUT..TUT, jam wekerku berbunyi. Aku meraih jam weker yang persis di sampingku. Aku picingkan mata. Pukul 9 pagi. “ Huaamm…” aku menguap dan aku matikan jam weker, aku benamkan mukaku ke bantal. Malas sekali untuk bangun, jika akhir pekan seperti ini. Lebih baik aku melanjutkan tidur kembali, yang penting aku sudah sholat shubuh.

  “DILA….!” Mama berteriak mengagetkanku.

  “Apa sih Maaa…..,” suaraku sedikit kencang karena merasa tidurku diganggu.

 “Jam berapa sekarang kok belum bangun, Dil?” Mama membuka pintu kamarku.

   “Dila masih ngantuklah, Ma. Dila capek banget,” sungutku kembali.

   “Ayo bangun! Mama mau pergi kerumah nenek sekarang. Jadi kamu jagain toko, cepet mandi, bangun!” Mama menarik selimutku.

  Aku segera duduk di kasurku dan mata masih dalam keadaan tertutup, “ Ma, ke rumah Neneknya ntar sore aja lah,” aku tumbangkan kembali tubuhku di kasur, tapi mama menarik tanganku. Mau tidak mau aku segera bangun.

  “Dila mandi dulu, Ma. Mama jangan pergi dulu yah!”

 “ Ya iya mandi dulu. Kalo gak mandi muka kamu kusut kayak baju gak di setrika,” mama berlalu.

  Padahal aku masih ingin sekali tidur sampai pukul 9 pagi, begitu rencanaku. Tapi karena mama mendesakku terus-menerus apa boleh buat, mau tidak mau aku beranjak dari pembaringanku. Aku garuk kepalaku, sedikit gatal. Mungkin, karena aku tidak terbiasa menggunakan jilbab, jadi seperti ini. Padahal mama juga menasehatiku untuk ganti jilbab sehari sekali. Artinya, jilbab yang sudah dipakai di hari itu, usahakan untuk diganti lagi. Dan mencuci rambut minimal sehari sekali. Biar sehat, kata mama. Benar-benar ribet.

  Hari ini aku berencana untuk mencuci rambutku. Aku cek kamar mandi ternyata shamponya habis. Aku segera mengambil shampo di toko. Aku menoleh ke arah meja kasir mama, tapi tidak ada siapa-siapa.

 “Tidak ada mama di toko, kemana sih mama? Nanti ada orang beli gak tau lagi,” aku berbicara sendiri. Aku segera meraih shampoo dan tiba-tiba ada seseorang mengagetkanku.

 “DOR!” aku tersontak kaget dan tubuhku refleks seperti memental. “Mau beli rokok, Dil,” pinta Edi, pelanggan di toko mama. Edi ini pelanggan setia mama. Kadang, tak jarang dia membantu mama untuk menurunkan barang-barang pesanan mama dari truk ke toko. Kadang aku terkekeh melihat tubuh kurusnya memikul sekarung beras atau berkardus-kardus barang berat lainnya. Jika mama melihat aku terkekeh, pasti mama akan menjewerku sampai merah. Tapi itu sebelum aku berjilbab.

 “Lain kali jangan ngagetin orang dong!” sungutku. Dia terkekeh. Aku meraba kepalaku “HAH…kepalaku plontos,” mataku terbelalak. Tidak menyadari jika aku tidak memakai jilbab saat ada pembeli. Aku pandangi Edi sekilas dan aku lari sekencangnya  masuk ke dalam dan  BRUK…GLOMPRANG…PRANG…PYARRR, aku menabrak rak piring. Semua piring berserakan. Pecahan piring di mana-mana. Piring-piring kesayangan mama pemberian  dari nenek saat mama menikah dengan bapak semuanya hancur, berserakan. Gelas kopi bapak terbelah jadi dua. Baskom itu menggelinding ke luar toko. Seperti perang rasanya. Mataku melotot, mulutku menganga lebar, segera aku tutup mukaku dengan ke dua tanganku. Dari sela-sela jari aku mengintip pecahan piring itu.

  “DILAA….kamu kenapa sih? Astagfirullah, apa yang terjadi dengan semua ini, Dila?” Mama menatap ke pecahan piring, gelas, dan tiga buah baskom yang terlempar di luar toko.  Aku diam. Kakiku gemetar. Mulutku terasa kelu.

 “Lho, ada apa Dila?” Edi tiba-tiba masuk ke dalam dan menjinjing tiga baskom.

 “Huaaa…” aku segera berlari masuk toilet. “ Kurang ajar Edi. Sudah tahu aku lari karena dia, eh malah masuk ke dalam rumah lagi,” aku mengumpat dalam toilet. Aku melihat kakiku, gemetaran dan aku mengingat kejadian barusan, dan aku cekikikan sendiri di dalam toilet. Aku segera mengambil jilbab mama yang tergantung di balik pintu toilet. Aku keluar.

  “Ma, maafin Dila ya! Gara-gara Dila semua piring ini berantakan,” aku merunduk, takut. Aku tahu sekali piring itu kesayangan mama.

 “Dila, semenjak kamu memakai jilbab, Mama liatin kamu sering sekali lari-lari kayak di kejar tuyul.” Mendengar mama berbicara seperti itu aku sedikit tertawa, namun aku segera menahan kembali. Aku tahu kali ini mama sedang serius, tidak bercanda. “Jika kamu ingin benar-benar memakai jilbab, sebaiknya kamu tetap pergunakan jilbab walau cuma untuk mengambil sesuatu di toko. Pagi kemarin, Mama liat kamu di belakang  lagi menjemur pakaian, tiba-tiba langsung lari tunggang-langgang karena kamu melihat ada seorang laki-laki yang memperhatikanmu. Alangkah baiknya jika kamu tetap memakai jilbab walau di rumah.”

 “O, berarti sekarang Dila memakai jilbab toh, Bulek?” Tanya Edi. Ibu mengangguk dan senyuman merekah dari bibir mama. Kulihat Edi malah membalik-balikkan jari jempolnya persis di belakang mama. Sehingga mama tidak melihat gelagat Edi. Aku tahu sekali Edi itu lagi mengejek aku dengan isyarat jari jempol dibalik-balikkan. Mungkin Edi lagi balas dendam, karena aku sering terkekeh melihat dia sempoyongan mengangkat beras. Ah, itukan sudah kebiasaan Edi, suka meledek orang.

  “Maafin Dila ya, Ma! Lain kali Dila tidak akan meengulangi kejadian seperti tadi. Kemana pun Dila melangkah, jilbab akan senantiasa melindungi Dila. Dila tidak mau kejadian seperti kemarin sore dan barusan terulang kembali. Terima kasih, Ma.”

 Cerpen ini pernah dimuat di Tabloid Klick, Hong Kong edisi Agustus 2012.    



G+

Recent Articles

0 komentar for "Jilbab Pertamaku"

Leave a reply