Headline


Oleh: Diani Ramadhaniesta

Eli segera menemui daidai, ketika majikannya itu memanggilnya. Ia lalu duduk di kursi kayu dan  meletakkan kedua tanganya keatas meja. Seperti anak sekolah yang di panggil guru BP  karena  kesalahannya.  Daidai menatapnya tajam. Namun Eli lebih memilih menunduk dan sesekali mendongakkan kepalanya untuk melirik wajah majikannya. Lalu ia tertunduk lagi menatap lantai kayu, sembari memainkan jari-jari kakinya. ”Duh mau ngomong apaan sih kok cuma pandang memandang aja,” batin Eli.

Lalu Eli memalingkan pandangannya keluar jendela. Jendela sebesar layar lebar, melukis kabut-kabut yang menyelimuti kota-kota Hongkong. Musim dingin dengan temperatur udara 6 derajat selsius membuat bibir Eli pecah-pecah, bahkan berdarah. Sesekali Eli mengulum bibirnya jika dirasa telah mengering.

Stop! Don't do it like that(1)”  tiba-tiba si daidai bersuara dan menyentakkan Eli serta merta .

“Bibirku sangat kering mom,” jawab Eli.

“Kamu harus memakai lipsgolls, ok!” timpal majikannya.

Sesaat hening kembali. Entah apa yang akan dibicarakan daidainya kepada Eli. Apakah Eli akan diinterminit, pertanyaan hati kecil Eli. Bukankah akhir-akhir ini Eli sering bertengkar pada majikan perempuannya. Eli bingung dan salah tingkah dengan ulah majikan   pada Eli.

“Eli!” majikan memanggilnya dan Eli segera menatap lekat wajah majikan. ”Jum'at besok kamu harus dirumah, Bobo(2). Karena saya akan belibur ke Eropa.” Suara yang ditunggu-tunggu Eli keluar juga. Namun Eli sangat tidak menginginkan majikannya berkata seperti itu. Eli segera menjenjangkan posisi duduknya yang  sedikit membungkuk, matanya membelalak dan mulutnya menganga.

“Kenapa kamu terkejut Eli?”

“ Emmmm....saya tidak bisa mom. Saya tidak mau di rumah bobo selama mom, di Eropa,” Eli tertunduk dan menggigit bibir bawahnya.

“Why,  Eli? Jika saya ke Eropa, apa yang akan kamu kerjakan jika kamu tidak di rumah Bobo. Kamu free,” sanggah majikan Eli.

  “Tolong mom! saya tidak mau kesana,” Eli mendekapkan kedua tanganya, memohon pada majikannya.

  “Pokoknya kamu harus kesana. Sudah sekarang kamu buatkan saya makan siang. Sebentar lagi saya akan keluar!” majikan Eli beranjak dari duduknya dan berlalu.

                                                                           ***

 Eli terdiam di kamarnya memikirkan kejadian-kejadian saat dia di rumah bobo. Dia ingat betul katika dia mengantarkan Bobonya jalan-jalan sore, bobo selalu pamer pada teman-temannya atau bahkan pada orang yang tidak di kenal sekalipun. Jika Eli adalah pembantu anaknya dan untuk sementara bekerja di rumahnya. Itu sangat bahaya. Jika ternyata yang diajak bicara bobo adalah seorang polisi pasti Eli masuk penjara karena bekerja tidak sesuai alamat yang tercantum di kontrak kerja. Hal yang membuat Eli kesal adalah ketika Sang Bobo memaksa Eli untuk memakan daging babi. Eli menolak mentah-mentah. Saat Eli meminta pada bobo agar Eli yang memasak makan malam, bobo ribut tidak karuan. Eli mengancam jika bukan dia yang masak, maka Eli tidak akan ikut makan malam. Akhirnya bobo mengizinkan Eli masak. Eli merdeka. Dia merasa menang. Masakan terhidang di meja dan dia pergi mandi.

 Waktu makan malam pun telah tiba, Eli merasa ada yang aneh. Hatinya tidak enak. Namun dia tepis perasaan itu. Dia makan dengan lahap. Sugguh lezat masakannya. Namun ternyata perasaan hati yang tidak enak itu dikarenakan bobo mencampurkan babi kedalam masakannya. Melihat babi di dasar piring, dia langsung membuang nasi yang masih tersisa di mangkoknya. Secara refleks, Eli muntah-muntah hingga perutnya terasa melilit.

  Keesokan harinya Eli pulang ke rumah  majikan. Tidak perduli bobo memberi izin atau tidak. Eli sangat jengkel. Kemarahannya tidak bisa di bendung. Kesabarannya telah hilang. Pulang adalah cara terbaik. Entah mengapa setelah dari rumah bobo, Eli menderita panas yang sangat tinggi selama seminggu. Padahal dia di rumah bobo Cuma tiga hari. Sebelumnyua dia juga selalu menderita setelah dari rumah bobo. Seperti tiga bulan yang lalu dia juga ke rumah bobo, dan pulangnya Eli menderita sakit perut.

Semua itu membuat Eli trauma. Dia takut kejadian yang sama bakal terulang lagi. Dia tidak mau jika bobo sampai memberi makan babi lagi dan menyebabkannya  sakit. Dia ingat sekali saat terkulai lemas tidak ada satu orang pun yang menemaninya. Soal makan pun dia bergantung pada temannya yang berada di bawah flatnya. Jika sudah seperti ini, maka Eli akan merindukan ke dua orang tuanya. Kerinduan itu menyebabkan air mata Eli terkuras.

                                                                                ***

 Pagi sekali Eli menderet koper ukuran sedang. Mungkin dia akan ke rumah bobonya. Jalannya cepat. Aku berusaha memanggilnya dan dia menoleh. Eli menatapku nanar. Sepertinya dia habis menangis. Aku kejar dia namun tiba-tiba tanpa ku sadari ada segumpalan asap mengepung tubuhnya dan berputar-putar mengitari tubuhnya. Eli berteriak. Aku berusaha menolongnya, tapi sia-sia. Eli di bawa gulungan asap membumbung tinggi ke langit. Aku berteriak memangil-manggil namanya. Tiba-tiba sebuah tangan dari arah belakang memegang pundakku, dan aku menoleh.
  
 “Eli…..?” kukernyitkan dahi dan aku ingin memeluknya. Namun Eli tersenyum kaku dan menghilang. Aku panik ketakutan dan menjerit sekuatnya.

   “Cece…cece…kenapa? ayo bangun!” tiba-tiba anak asuhku membangunkan tidurku.  Aku peluk mui-mui. Keringatku bercucuran. Aku jadi teringat akan percakapan tadi sore, Eli mengatakan bahwa dia besok pagi akan segera ke rumah bobo. Apa yang akan terjadi dengan Eli? Kenapa aku bermimpi seperti itu? Aku tidak bisa melanjutkan tidur, aku hanya memikirkan Eli, sahabat terbaikku. Ada apa dengan Eli? Semoga dia baik-baik saja.




Keterangan:

1.      Stop! Don’t do it like that : Berhenti! Jangan lakukan seperti itu
2.      Bobo      : Panggilan untuk nenek yang biasa digunakan orang Hong Kong





 Cerpen ini pernah dimuat di Berita Indonesia edisi Desember 2012




Cerpen ini dimuat di Berita Indonesia edisi  Desember 2012



Musim penghujan ini paling cocok jika membuat menu NASI KENTANG sebagai santapan kita. Nasi yang mengepul dengan aroma kentang dan jamur itu sungguh luar biasa sekali nikmatnya. Resep ini aku dapatkan ketika aku masih bekerja di NEGERI SINGA. Yuk kita lihat bagaimana proses dalam membuat NASI KENTANG ini!

Bahan:
·         Beras ½ kg, cuci bersih.
·         3 butir kentang ukuran sedang atau besar, potong dadu
·         Ayam fillet secukupnya saja  (daging ayamnya saja yang diambil kemudian diiris sebesar jempol). Setelah itu dibumbuhi kecap asin, tepung maizena, gula, sedikit minyak. Campur kemudian dibiarkan 15 menit. Setelah itu ditumis dengan minyak sedikit hingga matang.
·         Jamur kering cina direndam kemudian diiris tipis-tipis, kemudian goring hingga harum
·         4 butir telor, kocok kemudian dadar lalu dipotong potong panjang.
·         2 siung bawang putih cincang halus
·         Garam secukupnya

Cara Membuat:
·         Tumis bawang putih dengan sedikit minyak. Masukkan kentang masak selama 10 menit kemudian masukkan semua bahan. Tumis sebentar saja.
·         Masukkan beras ke dalam rise cooker dan beri air. Takar air sehingga menurut kita nasi itu bisa keras tidak lembek. Setelah air dalam nasi terlihat mendidih masukkan bahan tumisan ke dalamnya. Tutup dan tunggu hingga nasi masak.

·         Nasi kentang bisa dinikmati begitu saja atau juga menggunakan lauk lainnya. Selamat mencoba 


Resep masakan satu ini sangat digemari anak-anak dan saya pribadi juga sangat menyukainya. Apakah sahabat bloger juga demikian? Nuget yang saya buat ini rasanya sangat enak sekali dibanding ketika saya beli di supermarket ( menurut saya sih hehehe ) tapi boleh dicoba lho kalau gak percaya!!! J  Emang sih dari segi penampilan dan warna kurang menarik soalnya saya bikin pas malam dan mata agak agak ngantuk. Tapi rasanya membuat lidah kerasan bergoyang. Yuk mari cek resepnya!

Bahan:
·         ½ Ayam diambil dagingnya saja setelah dicuci dihaluskan dengan pisau di papan pemotong. Pakai blender sih boleh tapi rasanya kurang enak.
·         Wortel satu saja yang kecil  diparut
·         Kentang juga satu aja diparut
·         3 sdm tepung panir
·         2 butir telor itu yang satu untuk adonan dan yang satu untuk bahan guling guling nugetnya.

Bumbu yang Dihaluskan:
·         2 siung bawang putih
·         3 butir bawang merah
·         Satu butir pala
·         ½ sdt merica
·         1 sdm gula pasir
·         1 sdm kaldu bubuk atau masako
·         Garam secukupnya

Cara Membuat:
·         Masukkan ayam halus , bumbu halus, kentang halus, wortel halus, telor dan tepung panir jadi satu di wadah. INGAT! Jika adonan terlalu lembek akibat air wortel dan kentang maka kita bisa menambahkan tepung panir.
·         Kukus adonan hingga matang
·         Jika sudah matang, biarkan dingin dan potong potong dadu.
·         Gulingka adonan di telor yang sudah dikocok kemudian gulingkan ke tepung panir. Lalu goring.
·         Jika kita membuat dalam jumlah banyak dan tidak bisa sekali makan, maka kita bisa menyimpan nugget ke dalam kulkas apabila sudah diberi tepung panir.
Selamat  Mencoba
 



Oleh: Diani Ramadhaniesta
 


Tiga gajah besar itu mengamuk di Desa Serapuh kabupaten Simalungun. Belalainya yang panjang menyemburkan  air dan bergoyang-goyang. Kepalanya berusaha menghancurkan apapun yang dilihatnya termasuk rumah penduduk.  Gadingnya menukik hendak berusaha menghancurkan papan kayu rumah penduduk. Dari dalam sang empunya rumah memekik ketakutan. Kakinya menghantam berdebum-debum bunyinya sangat keras. Memekakan telinga.
           
            Penduduk berteriak histeris, tangisan anak anak melonglong. Ibu-ibu yang kebetulan berada di luar rumah berlari sambil membopong anak kecilnya, dan tangan mungil itu  mendekap erat tubuh  ibunya. Para suami yang masih di  ladang bersama istrinya berlari dibelakang istri  mereka menuju rumah mereka masing-masing. Yang telah  berada di rumah dengan sigap menutup semua daun  jendela dan mengunci pintu dengan rapat.
           
            BRAK…BRUK….OOOAAAAKKH….

            Suara kaki gajah yang berdebum-debum,  serta  lengkingan suaranya  teramat memekakan telinga. Aku dari arah dekat mengambil gambar gajah yang mengamuk dan juga merekamnya. Aku berusaha secepat kilat mengarahkan kameraku dengan sempurna. Ketika gajah itu berbalik ke arahku, aku berbalik dan berusaha menyelamatkan diri. Lari sekencang mungkin.

            Bang, oson ma jolo ho lojong cepat. Bang, sinilah kau cepat lari!” Paula Siregar anak dari Bang Darmanan Siregar berteriak ketakutan. Keringat bercucuran dikeningnya.

            Aku segera masuk ke dalam pintu yang telah dibukakan Paula dan daun pintu itu segera ditutupnya dengan  rapat. Dari luar terdengar suara digedor-gedor cukup keras. Gajah itu berusaha untuk mendapatkanku mungkin. Lalu menginjak tubuhku.  Nafasku memburu naik turun. Tiba-tiba terdengar suara sirine mobil polisi. Aku dan Paula mengintip dari celah jendela kayu. Beberapa orang polisi , dokter hewan, dan lima orang Warga Serapuh berdiri di jok  belakang mobil memandangi gajah yang mengamuk. Mereka telah memasang jebakan dan juga senapan yang berisi obat bius.
            Aku keluar kembali begitu gajah yang mendobrak-dobrak rumah telah enyah.
Aku segera memotret satu gajah yang telah berhasil tertangkap dan terkulai lemas di dalam jaring. Kasihan.

                                                                        ***
            Paula tertegun tidak percaya jika ia mendapatkan gelar Duta Lingkungan dari Bupati Simalungun. Kakinya terasa tidak dapat dilangkahkan lagi tatkala namanya disebutkan untuk maju ke atas panggung untuk memberikan sambutan. Bulir beningnya mulai menganak sungai  dan meretas tak dapat  dibendung lagi. Meluap hingga tercipta tangis bahagia dan juga kebingungan mengapa harus dia yang mendapatkan gelar duta lingkungan. Apakah tidak salah gelar itu disematkan untuknya.

            Paula siswi SMK 4 Simalungun yang berparas manis dan berdagu lebar itu pernah suatu ketika menggalang dana untuk program penghijauan di kawasan Hutan Aek Nauli yang sudah mulai gundul. Penjarahan kayu di hutan itu terjadi sangat liar dan hal ini membuat Paula geram. Paula menggagas sebuah ide untuk menggalang dana dan mengajak semua temannya serta warga Simalungun untuk mengikuti program  menanam 1000 pohon di Hutan Aek Nauli.

            Dua bulan telah berlalu,  bibit pohon haminjon telah tumbuh dan mulai menampakkan daun barunya. Paula berdiri memandangi hamparan pohon yang masih kecil itu dengan mata binarnya. Keindahan alam adalah suburnya hutan,  itu kata yang selalu terpatri di hati Paula. Hingga akhirnya Bupati Simalungun  memberikan gelar duta lingkungan  kepada Paula Siregar.

            “Hutan adalah paru-paru dunia. Jaga hutan, maka Anda sesungguhnya menjaga diri Anda dan orang-orang disekitar Anda. Kurangi pemanasan global dengan menjaga hutan,” Paula mengakhiri sambutannya dan disambut riuh tepuk tangan tamu undangan yang hadir di Gedung Bupati.

            “Wah, tempurlah(1) saya, jagung masih belum masak  dah dihabiskan monyet-monyet liar,” ucap Ucok sitorus di salah satu kedai kopi di Bukit Tinggi. Suaranya cukup lantang terdengar hingga ke telinga Paula yang sedang melewati warung kopi itu sepulang dari sekolah.

            Arangan Nita on madung gok na sego dijarah jolma naso marotak.  Hutan kita sudah banyak yang  rusak dijarah manusia yang tidak punya otak.  Mereka juga tanam sawit di hutan tuh,” timpal yang lain. Paula memasang telinga lebih tajam sambil berjalan pelan untuk segera pulang ke rumah.

            Paula memasuki pekarangan rumahnya yang sangat luas itu.  Rumah adat bolon yang dikelilingi pagar besi itu terlihat sangat gagah sekali. Tiang penyangga rumah sebanyak 12  itu terlihat sangat kokoh dengan  warna hitam bercorak putih. Sebuah mobil avanza terpakir di depan rumahnya. Paula berjalan dengan langkah ragu dan penuh tanya.

Mobil siapakah yang diparkir nih,”  Tanya Paula dalam hati.

            Paula mendekati tangga rumah dan sejurus matanya mengintai ke dalam. Paula semakin penasaran  karena walau ada sebuah mobil di depan rumahnya, tidak ada suara lantang ayaknya(2) yang suka bercerita itu.

            Paula mengurungkan niatnya untuk naik ke atas rumah, namun dia memutar badannya dan berjalan mengendap-endap di bawah rumahnya. Paula berdiri di samping tiang penyangga rumah dan dilingkarkan tangannya di sana sambil menguping pembicaraan ayaknya bersama tamu yang membuat Paula penasaran.
            “Kalau kau bisa mengamankan keadaan sehingga dengan mudah aku mengangkut kayu-kayu itu dari Hutan Bayu Raja, maka aku berikan lagi uang berlipat-lipat dari jumlah sekarang,” ujar tamunya dan suara khas Jawanya sangat ketara.


            Imadah.Tentu saja. Aku yang seorang polisi ini pasti mampu mengamankan rencana ini.,”Jawab Darmanan, Ayak Paula.

            Gigi Paula gemeretak. Hatinya mendadak ngilu. Sejak kapan ayak  kandungnya menerima suap dari kasus penjarahan  hutan yang terjadi di Simalungun? Apa gunanya gelar Duta Lingkungan yang disematkan tadi siang untuknya?  Apa gunanya polisi yang bertugas menjaga keamanan justru merusak keamanan itu? Berjuta pertanyaan berkecamuk di hati Paula.

            Suara langkah  kaki terdengar oleh  Paula.   Paula segera sembunyi di balik tiang penyanggah rumah. Seorang lelaki timbun dengan baju perlentenya menuruni tangga rumah paula dan segera memakai sepatu yang sangat  berkilat  itu.  Dengan langkah gagah dan terlihat wibawah laki-laki yang telah menyuap bapaknya itu telah menciptakan kubu kebencian yang luar biasa bagi Paula.
            Ayak inda pantas mambaen songoni. Bapak tidak pantas berbuat macam itu.Apalagi Ayak seorang polisi dan Paula siang tadi diangkat menjadi Duta Lingkungan oleh Bupati Simalungun,” Paula berusaha menjelaskan, berharap ayak memahaminya,

            Naporlu marepet-repet ko songon Umakmu(3), Paula. Kau tak perlu teriak-teriak macam Mamak kau, Paula. Jika yang diatas tidak jujur maka kita yang  dibawah mereka akan rugi.”

Paula tertegun cukup lama mendengar apa yang didengar baru saja. Paula dibanding-bandingkan dengan Umaknya yang telah meninggal. Dan sejak kapan Ayak berubah fanatik dengan uang? Paula menatap lurus kepada Darmanan yang berbadan tegap itu.

“Paula kecawa tengok tabiat Ayak!”

            Darmanan menggebrak meja dengan keras. Kedua tangannya mengepal dan otot-otot tersembul dari tangan kekarnya. Rahangnya yang kokoh bergemelutuk. Sorot matanya tajam menikam mata Paula, namun Paula tidak gentar. Paula semakin menantang dengan ke dua tangannya yang berkacak pinggang.

            “Tidak saja binatang buas yang akan mengamuk, akan tetapi banjir dan tanah longsor akan menghancurkan desa kita,” suara Paula mulai merendah dan ia berjalan menuju sebuah jendela. Paula melamun dan matanya menangkap anak tetangganya sedang asyik bermain permainan Marsiada, yaitu permainan tradisional anak-anak Simalungun yang dimainkan dengan lempar tangkap batu kecil tanpa menyentuh batu lain.

            Ada satu langkah yang bisa diambil untuk menyelamatkan hutan di Simalungun yaitu melaporkan masalah ini ke Pemerintah Propinsi Sumatra Utara beserta mengumpulkan bukti kejahatan Ayaknya. Namun Paula mengurungkan niatnya. Walau bagaimanapun lelaki itulah yang membesarkan Paula seorang diri setelah Umaknya meninggal.

            Paula menyadari kerusakan hutan yang terjadi di Simalungun perlu segera diantisipasi. Pabrik kertas yang menebang pohon di kawasan areal terlarang, pembukaan kebun kelapa sawit, maupun penebangan pohon secara illegal sangat marak terjadi akhir-akhir ini. Bahkan Paula pernah memergoki beberapa lori yang mengangkut kayu. Lori-lori itu tidak saja menebang kayu saingon seperti apa yang diungkapkan oleh para perusak hutan, namun mereka juga menebang kayu-kayu hutan milik pemerintah.

                                                                        ***
28 Maret 2013
Dear Deary,
           
            Deary, terlalu berat gelar yang kuterima saat ini. Duta lingkungan. Ingin rasanya aku melepas gelar ini dan menjelaskan kepada mereka perihal hutan-hutan di simalungun. Namun aku sungguh tidak bisa. Munafikkah aku? Aku tidak ingin Ayak yang telah memiliki pangkat Irjen di  jajaran kepolisian lalu kedoknya terungkap oleh anaknya sendiri. Aku.

            Deary, namun ada candu yang menghibur sedikit sesak dihatiku. Pria itu. Pria yang pendiam yang tinggal di rumahku. Apakah dia bisu? Dia hanya asyik dengan kameranya tanpa perdulikanku yang selalu memperhatikannya.

            Paula segera menutup buku diarynya dan tertegun di meja belajar. Diingatnya kembali perktaan  Ayaknya siang tadi. Terasa menikam di dada. Paula hanya ingin Ayak sadar, bahwa menerima uang sogok dari si penjarah hutan itu sama artinya bunuh diri dan juga membunuh orang banyak.

            Paula kembali mengingat penjelasan dari  guru  biografinya yang menjelaskan manfaat hutan. Akar hutan menyerap air saat musim hujan dan mengelurkannya kembali saat  musim kemarau. Hutan  juga mampu menahan erosi, melindungi lapisan ozon yaitu suatu lapisan diatas langit sebagai pelindung bumi dari sinar langsung matahari. Hutan juga merupakan habitat hewan-hewan yang ada di dalamnya, dan jika hutan rusak tidak dapat dipungkiri jika akhirnya hewan melampiaskan kemarahannya dengan mengamuk ke desa-desa.
                                                                        ***

            Hutan yang ada di hadapan Paula tidak lagi sehijau dahulu, namun kini rusaknya lebih parah. Manusia-manusia perusak  hutan itu telah merusak seenaknya. Yang tersisa hanyalah ranting-ranting pohon dan sisa akar pohon . Mata Paula tampak tergenangi oleh rinai asin yang urung untuk dikeluarkan. Setelah bercerita tentang hutan, gelarnya dan juga Ayaknya, aku mampu menangkap perasaan yang membuat Paula semakin tertekan. Sementara aku hanya diam menatap Paula penuh iba.

            Mabiar Au Bang. Mate naron Umakku terseret bah. Aku takut Bang. Mamakku mati terseret air bah. Aku takut hal itu terulang lagi ” Paula menerawang ke langit.

            Mataku tiba-tiba menangkap seekor monyet dengan anaknya yang menggantung di bawah perutnya. Mpnyet itu  berjalan jalan mencari sesuatu diantara bekas pohon yang ditebang.

            “Kasihan monyet itu ya, Bang. Kenapa selama Abang Faisal di Simalungun tidak pernah Paula dengar berbicara? Abang asyik saja dengan kamera tuh,” Mata Paula menunjuk ke kameraku dan aku segera memasukkan ke dalam tas.

            Sejak pertama kali aku menginjakkan kakiku di rumah Paula untuk kegiatan KKNku dari kampus, aku memang tidak pernah berbicara dengan Paula. Aku memilih diam, walaupun dia berkali-kali bericara aku hanya mendengarkannya dengan sabar. Hanya kepada Pak Darmanan Aku sedikit bersuara. Mereka cukup baik mau menampungku yang sedang memngikuti KKN dan tugasku adalah meneliti kebudayaan di Desa Serapuh.

            Aku diam setelah kepergian Anggun tunanganku. Kepergiannya yang sudah tiga bulan itu telah membuatku menjadi pribadi yang pendiam apalagi kepada wanita. Aku hanya mampu mendengar jika mereka bercerita tanpa mampu memberikan komentar. Seakan lidahku kelu pun pada Paula yang sangat ramah padaku. Selalu menceritakan hutan-hutan di Sumatera Utara tanpa kuminta.

 “Saat gajah masuk desa dan mengamuk hebat, aku takut kehilanganmu, Bang.  Kau terlau asyik mengambil gambar gajah itu,” lanjutnya lagi. Matahari senja menyorot ke paras Paula dan rambutnya yang ikal  mayang terlihat menyala merah.

            GLUR….GLUR…GLUR…

            Tiba-tiba ada suara sangat keras seperti suara meriam dan bumi terasa bergetar hebat. Monyet yang sedang duduk bersama anaknya itu terkejut dan berlari cukup kencang dan entah menyelamatkan diri kemana.

            “Longsor, longsor, tolong!” lamat-lamat suara yang terdengar mencekam itu tertangkap telingaku. Paula berubah pucat pasi.

            “Aku tidak ingin kehilangan lagi, Bang. Ayo balik selamatkan Apak,” Paula segera beranjak dan menggengam diarynya erat. Aku merasa sangat aneh terhadap Paula sejak pagi tadi dia selalu mendekap diary itu. Seolah-olah tidak ingin kehilangan diarynya itu. Dan itu berlaku pada hari ini kebiasaan barunya yang menenteng diary kemanapun kaki melangkah.

            Bumi terus bergetar hebat dan suara longsor itu seperti suara gemuruh yang luar biasa memekakkan telinga. Aku segera meraih kameraku dan mulai memasang ancang-ancang untuk mengambil gambar. Dari jauh kulihat tanah memakan tubuh tubuh yang berlari ketakutan.
            Rumah Paula  tampak miring dan dari dalam rumah kudengar jeritan Pak Darmanan. Aku menggenggam lengan paula agar tidak masuk ke dalam, namun Paula memberontak dan terus berlari ke dalam rumah dan diary yang ada di tangannya terjatuh.

            Ketika Paula masuk, rumah itu roboh dan  sebongkah batu berdiamer 2 meter  menggelinding dan menghantam rumah Paula. Terakhir kudengar suara Paula melengking memanggil namaku.

                                                                        ***

            Aku tutup diary milik Paula. Aku mendekapnya sangat erat seperti saat terkahir Paula mendekap diary ini. Aku rekam berulang-ulang memoryku bersama Paula. Gadis itu sedikit telah mampu membuatku menyunggingkan senyum. Gadis itu menyimpan rasa cintanya padaku di  sebuah diary yang kini telah berada di dekapanku. Mengapa aku baru mengerti disaat Paula telah pergi.
            “Lolololo….hutan hijau, hutan tunas, hidup Paula, hidup Paula!”

            Aku segera mencari suara yang menyebut-nyebut nama Paula dengan sebuah nyanyian aneh. Ketika mataku menangkap pada sosok lelaki dengan perban-perban di seluruh kepalanya dan juga kakinya dia terlihat melompat-lompat cukup riang. “ Apakah kakinya tidak sakit karena gerakannya yang aneh itu?” tanyaku dalam hati.  Kemudian dia berhenti lalu terdiam dan menangis. Aku segera turun dari ranjang dan kugunakan tongkat untuk berjalan. Yah, longsor itu telah membuat kakiku terluka cukup berat. Aku berjalan tertatih sambil memandangi sesosok tubuh tegap berbaju seragam rumah sakit sedang menangis sambil menyebut-nyebut nama Paula. Jantungku berdegup sangat kencang dan nafasku seakan tersengal.

            “Abang,” sapaku pada lelaki yang hanya kulihat rambut belakangnya saja. Dia menoleh dan tersenyum lebar memamerkan gusinya yang tidak bergigi lagi. Giginya telah tanggal semua, namun aku masih mampu mengenalnya, dia  adalah Pak Darmanan Ayak Paula.

                                                                        ***

Keterangan      :
Tempurlah       : rugilah
Ayak                : Bapak
Umak               : Ibu