Headline

Sepotong Asa Dalam Lembaran Novel

Sudah sangat berbeda keadaan Hongkong yang sekarang dengan sepuluh tahun yang lalu. Waktu telah memaksa zaman untuk merubah segalanya. Termasuk diriku, yang kian hari kian menua. Umurku yang kepala empat yang sudah saatnya istirahat, terpaksa harus kembali keluar negeri demi untuk membiayai pengobatan anakku yang terkena kanker rahim.

            Hartaku satu-satunya dalah anakku. Aku tidak mempunyai siapa-siapa selain dia. Sementara suamiku, menikah lagi dengan istri mudanya. Hasil jerih payahku bertahun-tahun ternyata hanya dinikmati oleh suamiku dan istri mudanya. Aku mengetahui semuannya dari anakku.  Aku berusaha tegar dan berusaha membangun lagi keterpurukan-keterpurukan hati menjadi satu hati yang utuh untuk anakku. Bekerja untuk membeli perumahan dan menghapus kenangan-kenangan indah, mimpi-mimpi masa depan yang selalu aku rangkai bersama suamiku. Kiranya semua itu seperti daun yang tertiup angin, terhempas dan melayang entah  ke mana.

            “Bunda, giliran Bunda baca  Iqronya!” Suara Wati mengejutkanku.

            “Eh, iya, iya, Nak Wati,” aku tergagap.

            “Lho, Bunda kok malah melamun,” Wati guru mengajiku mencoba mencandaiku. Ya, aku belajar membaca Al-Qur’an dari tingkatan Iqro, dan anak seusia anakku pula yang mengajariku. Pemikiranku sakarang adalah, belajar pada siapapun tidak masalah, asal ilmu itu berguna bagi hidup kita. Aku sangat menyayangkan ketika dulu bekerja selama delapan tahun, tanpa menuntut ilmu di negeri orang. Menginvestasikan keringatku dalam bentuk rumah dan tanah, yang pada akhirnya rumah dan tanah itu di telan suamiku dan istri mudanya.

            “Ayo, Bunda baca!” Wati mengingatkanku kembali.

            Bukan belajar Al-Qur’an saja, tetapi aku juga mengikuti organisasi kepenulisan FLP Hongkong. Aku akan menulis kisah hidupku, kisah pahitku, aku akan menumpahkan seluruh alur hidupku dalam naskah novel yang aku tulis.

                                                                        ***

            Aku merasakan ada tendangan kaki di mukaku. Seperti biasa, siapa lagi kalau bukan majikan perempuanku yang memperlakukanku semena-mena. Aku tidur di dapur beralas kain tipis yang aku ambil di pesawat sebagai selimut dahulu. Untung saja saat ini musim panas, jika musim dingin aku tidur dalam posisi duduk. Karena aku tidak kuat dengan dinginnya lantai dapur. Aku mengerjap-ngerjap melirik majikan perempuanku. Aku segera beringsut, dan rambutku berantakan.

            “Faiti heisan(1)! Cepat bangun, Buruan kerja!”

            “Hoak daidai(2).” Aku cepat-cepat melipat alas tidurku, dan segera berlari mencari lap. Tanganku dengan sigap melilitkan rambutku yang berantakan sekenanya. Tanganku mengusap pipiku, ada sedikit pasir menempel di pipi, itu mungkin karena kaki daidaiku yang acap kali membangunkanku dengan cara menendang.

            Ponsel yang selalu aku simpan di saku celana tiba-tiba bergetar saat aku melakukan pekerjaan rumah. Aku lirik majikanku sedang membaca koran di depan TV dan sesekali menoleh tajam ke arahku. Aku tidak menghiraukan ponsel yang bergetar-getar berkali-kali. Aku mengumpat dalam hati. Dan di hatiku yang lain beristigfar. Mengapa majikanku tidak pergi-pergi dari tadi? Aku sungguh lelah sebenarnya kerja di rumah ini. Raga dan bathinku tersiksa.  Aku ingin sekali pergi dari sini, namun jika aku mengingat anak permpuanku yang terkena kanker rahim, maka aku membulatkan semangat untuk tetap bertahan di rumah ini. Ketika aku melirik majjikanku terkantuk-kantuk dan kaca matanya turun sampai kehidung, maka aku segera berlari ke toilet, melihat siapa gerangan yag menelponku sepagi ini.

            Setelah telepon itu berkali-kali berdering, dan aku tidak mengangkatnya, ada pesan singkat yang membuat aku tak mampu berdiri, yang membuat jantungku berdetak kencang, dan yang membuat aku kebingungan. Anak perempuanku harus segera dioperasi untuk mengangkat rahimnya. Aku bingung, entah darimana aku harus mendapatkan uang untuk biaya operasi tersebut. Apa aku harus mengutang seperti teman-teman yang lain? Sehingga urusannya bisa rumit? Atau, aku biarkan saja anakku terkapar dan aku tak ambil perduli. Tentu saja aku harus mendapatkan uang, tanpa mengutang di bank. Tapi, bagaimana caranya?

                                                              ***

            Malam kian merayap. Hujan di luar sana membungkus Hongkong menjadikan lantai yang aku tiduri sedingin es. Aku mengendap-endap memstikan majikanku tertidur, maka aku segera mengeluarkan notebookku. Aku harus segera menyelesaikan kisah hidupku dalam novel yang telah aku tulis. Kisah dukaku, tidak ada kisah suka. Hanya duka selama hidup ini yang aku jalani. Hingga aku pastikan, kelak orang yang membaca novel ini akan menangis jika hati mereka mudah tersentuh.

            Aku ingin mengejar deadline sayembara menulis novel yang diadakan Majalah Sastra Jakarta. Aku berharap sayembara itu aku bisa menang dan segera menyetujui operasi pengangkatan rahim anakku. Ketika jari-jari tanganku mengetik di keyboard, air asin ini meretas tiada henti bagaikan sungai yang tak berhilir. Aku lelah dengan kisah hidupku. Aku tulis semua dengan semangat yang menyala dan air mata yang tiada henti-hentinya. Jari-jemariku bergetar hebat dan aku mendengar derak kursi bergeser dari kamar majikanku. Aku masukkan notebookku ke dalam lemari dapur. Berharap majikanku tidak keluar dari kamar. Setelah aku rasa kamar itu sepi kembali, aku segera mengambil notebookku dan menulis hingga waktu shubuh menjelang.

                                                                   ***

            Aku berjalan menuju markas FLP untuk melakukan pertemuan rutin dan belajar bersama. Langkahku terasa ringan, namun mataku serasa perih. Mungkin, karena akhir-akhir ini aku sering bergadang untuk segera menyelesaikan naskah novelku secepatnya. Sambil  aku ayunkan kakiku di sepanjagn jalan, aku hafalkan beberapa ayat pendek yang diberikan guru ngajiku di Majlis Taklim Al-Huda. Guru ngajiku seusia anakku itu memang selalu membuatku terkesima dengan kepribadiannya. Terkadang aku berkhayal seandai dia itu adalah anakku.

            “Assalamualaikum,” aku sapa teman-teman FLP dengan salamku.

            “Walaikumsalam,” jawab mereka serempak.

            “Bunda! Selamat, selamat.” Rita memelukku kencang. Aku kebingungan. Selamat untuk apa?

            Rita melepaskan pelukannya, “Bunda, selamat. Novel Bunda menang sayembara yang diadakan Majalah Sastra Jakarta itu.”

            Aku berdiri mematung dan entah mengapa jantungku berdegup kencang bercampur rasa haru yang tiada tara. Namun aku segera memastikan berita dari Rita ini. Aku sedikit tidak percaya berita dari Rita, karena dia orang yang suka bergurau. Tapi, mengapa jantungku tetap berdetak semakin kencang. Aku pandangi yang lain satu persatu dan aku segera mengambil Majalah Sastra Jakarta yang ada di tangan Umi. Aku buka lembarannya, dan aku lihat di kolom “pengumuman lomba sayembara” tertera namaku, Maisaroh dengan judul novel “Segenggam Derita” sebagai juara ke dua dan mendapatkan uang sebesar 10 juta. Aku bersujud syukur dan linangan air mataku tiada kuasa aku bendung. Air mata keharuan  dalam lembaran novelku yang bercerita kesedihan di sepajang hidupku.

Keterangan:
1.      Faiti heisan : cepat bangun (babasa Hong Kong)
2.      Hoak Dai-dai : Iya Nyonya (bahasa Hong Kong)

Cerpen ini meraih juara II yang diadakah GAMI dan sekaligus dimuat di Tabloid Klick, Hong Kong edisi November 2012. Judul semula “Sepoton Asa dalam Lembaran Novel”  menjadi “Hong Kong Bercerita”


G+

Recent Articles

2 komentar for "Sepotong Asa Dalam Lembaran Novel"

  1. Menarik ceritanya... kisah sedih yang dibungkus dgn semangat perjuangan :)

  2. Terimaksih Mas Bintang sudah mampir :)

Leave a reply