AIR MATA SYAWAL
Perempuan paruh baya yang sering dipanggil
Ibu Tutik, duduk di kursi panjang di ruangan VIP. Matanya sembab dan ada
lingkaran hitam di sekitar kelopak mata. Perempuan itu sulit tidur selama
setahun terakhir ini. Tubuhnya yang bongsor terlihat kurus, sehingga apabila
berjalan terlihat sedikit membungkuk. Rambutnya tidak serapi dulu, satu tahun
yang lalu. Sebelum anak perempuannya menjadi penghuni tetap di ruangan VIP
selama satu tahun.
Matanya
tidak lepas dari tubuh anak perempuannya
yang koma. Tubuhnya kaku dan matanya tertutup oleh kapas dan kain
kasa. Dokter telah memvonis lumpuh total
seumur hidup kepada anak semata wayangnya, dan mengalami kebutaan.
Wajah
pucat Intan ditatapnya lekat-lekat oleh Ibu Tutik. Pipa berukuran 0.33 milimeter yang sering disebut Feeding tube dalam dunia kedokteran
terurai dari lambung ke botol cairan yang berisi sari-sari makanan. Ada bekas
sayatan kecil yang pernah dilihat Ibu Tutik saat dia mengecek perut Intan. Tetesan cairan
dari botol feeding tube ditatapnya lekat-lekat. Disana dia bisa
melihat memori-memori setahun yang lalu, bagaimana kondisi Intan saat pertama
kali dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara
Sartika Asih, Bandung. Tubuh Intan penuh luka dan ke dua matanya mengeluarkan
darah segar. Dokter mengatakan ke dua mata Intan rusak dan tidak berfungsi,
kecuali ada orang yang akan mendonorkan ke dua matanya untuk Intan. Dan yang
membuat perempuan itu shock ketika dokter memvonis Intan lumpuh seumur hidup
dan hanya bisa berbaring di ranjang seperti mayat. Tanpa geraka badan, hanya
nafas pertanda bahwa Intan masih hidup.
Tetesan
cairan dari botol feeding tube itu
pun mengingatkan akan memori sebelum Intan mengalami kecelakaan bersama
suaminya, Agus.
“Ibu,
Intan sama Mas Agus akan ke Subang nanti sore ya, Bu?” Intan masih memakai baju
rayanya dengan paduan jilbab biru.
“Apa
tidak sebaiknya hari raya ke tiga saja, Nak?” Tangan Bu Tutik menutup toples
kue-kue. “apalagi hari raya pertama itu biasanya di jalan raya banyak sekali
kendaraan,” sambungnya.
“Saya
gak enak sama Ibunya Mas Agus, Bu. Intan ‘kan juga sudah menjadi anaknya.”
Timpal Intan.
“Ya
sudah. Ibu hanya merasa tidak enak saja. Entah mengapa. Yang penting hati-hati saja
di jalan ya!”
Nasehat
yang diberikan untuk Intan saat itu merupakan nasehat yang terkahir kalinya,
hingga saat ini nasehat-nasehatnya tidak pernah keluar dari mulutnya untuk
Intan. Karena saat Intan sudah sampai di daerah Subang, Intan bersama suaminya
mengalami kecelakaan di sebuah jalan yang sering di sebut jalan gelap, karena
di daerah tersebut rawan kecelakaan dan jalannya memang gelap.
***
“Agus,
apa tidak sebaiknya kamu menikah lagi?” pertannyaan Ibu Tutik mengagetkan Agus.
“Bu!
kenapa ngomong begitu? Saya sangat
mencintai Intan. Apa pun yang terjadi dengan Intan saya akan selalu berada
disampingnya.” Agus masih dengan baju kerjanya menggengam tangan Intan.
“Tapi,
Nak, dokter telah memvonis istrimu akan lumpuh seumur hidup. Dan Ibu kasihan
sama kamu. Walau kamu anak mantu Ibu, tapi Ibu merasa kamu itu seperti anak
kandung Ibu.”
“Dokter
bukan Allah, Bu. Bisa saja dengan kekuasaan Allah justru Intan yang berumur
panjang dan saya yang berumur pendek. Semua itu bisa saja terjadi, Bu.” Agus
mencium kening Intan dan segera keluar. Agus tidak ingin berdebat dengan
mertuanya. Ibu Tutik terkejut mendengar
penuturan anak mantunya. Dia sangat beruntung mempunyai anak mantu yang begitu
sangat menyayangi anak semata wayangnya.
***
Lebaran
tinggal menghitung hari. Intan belum juga siuman. Terasa sepi rumah tanpa ada Intan dan anak mantunya. Hanya Ibu
Tutik dan pembantunya saja. Kini pembantunya menjaga Intan di Rumah Sakit. Mendiang suaminya pun
telah lama meninggalkan Ibu Tutik dan Intan. Hanya Intanlah harta paling
berharga bagi Ibu Tutik, namun akibat kecelakaan setahun lalu, semua telah menguba
segalanya. Sementara Agus anak mantunya sedang berada di luar kota, sehingga
semakin sepi rumah ini. Hanya dia ditemani kursi goyangnya. Tiba-tiba saat Ibu
Tutik melamun, telepon rumah berdering, dengan sigap Ibu Tutik mengangkat.
“Hallo,
dengan Ibu Tutik?” Tanya suara di seberang.
“Ya,
benar. Maaf siapa?”
“Saya
dari Rumah Sakit Bhayangkara Sartika Asih.” Ibu Tutik tersentak dan dadanya
berdegup kencang mendengar telepon dari Rumah Sakit. “Ibu, Intan mendapat dua
pasang mata dari seorang pendonor. Mulai tadi malam, Intan juga bisa menggerakkan
anggota badannya. Selamat ya, Bu. Kami berencana ingin mengoperasi mata Intan
hari ini juga, karena pihak pendonor mata sebelum menghembuskan nafasnya, dia
meminta agar segera mengoperasi mata Intan, agar saat lebaran Intan bisa melihat kembali.”
“Maaf, Dokter, kalau boleh tahu siapa pendonor
itu?” Ibu Tutik bertanya penasaran.
“Maaf Bu Tutik, kami saat ini belum
bisa memberitahu Ibu. Jika operasi sudah selesai, maka kami akan memberitahu
Ibu, siapa pendonor itu. Sekali lagi, ini juga merupakan salah satu permintaan
pendonor mata itu, Bu.” Suara dokter terdengar lirih.
“Baik,
Dokter Iyan, saya menyetujui Intan untuk dioperasi sekarang. Saya akan segera
ke Rumah Sakit.”
***
“Allahu akbar…Allahu akbar…Allahu akbar,
lailahaillallahu wallahuakbar, Allahu akbar
walillahilkham.”
Suara
takbir itu lamat-lamat bisa terdengar oleh Intan. Intan untuk pertama kalinya
akan melihat dunia kembali setelah
setahun mengalami kebutaan. Suster perlahan-lahan membuka perban yang ada di
mata Intan. Degup jantung Bu Tutik berdegup kencang. Intan mencoba menggerakkan
mulutnya.
“Bu,
Mas Agus dan ada di mana?” Tanya Intan terbata-bata.
“Intan,
suamimu, suamimu….” Ibu Tutik tidak meneruskan kembali ucapannya.
“Aku
ingin melihat Mas Agus untuk pertama kalinya, Bu. Dimana dia?” Tanya Intan
kembali. “Aku ingin sungkem dengan Mas Agus di pagi raya ini, Bu. Dimana Mas
Agus?”
“Intan,
emmm…suamimu…” Ibu Tutik tergugu menangis.
Perban terakhir telah lepas.
Intan memandangi ruang VIP terasa terang. Dipandanginya juga wajah Ibunya yang
jauh berbeda dari setahun yang lalu. Sangat kurus dan terlihat lebih tua.
“Bu,
Mas Agus dimana?” Intan mengulangi pertanyaan sekali lagi dan matanya
dikerjap-kerjapkan, terasa sedikit perih.
“Intan,
Ibu mohon kamu mau menerima semua takdirmu dengan lapang dada, Nak!” Bu Tutik
menghampiri Intan yang masih terduduk di ranjang .
“Suamimu
telah meninggal seminggu yang lalu. Matamu ini adalah matanya suamimu, Nak” Ibu
Tutik memeluk Intan dan dia merasa tubuh Intan perlahan berguncang-guncang
karena menangis.
“Mbak
Intan, maaf jangan menangis dulu. Karena ini mata Mbak baru saja dioperasi dan
masih dalam masa pemulihan,” Suster mengingatkan Intan.
“Ambilkan
saya cermin, Suster!”
Intan
memandangi dua pasang mata yang sekarang telah menjadi miliknya. Mata milik
suaminya, yang dulu pernah dia kagumi dari sinar mata itu. Mata yang teduh bila
Intan menatapnya. Kini mata itu menjadi milik Intan. Suara takbir raya bergema
di segela penjuru. Memori sebelum kejadian kecelakaan di Subang bersama
suaminya terputar kembali. Intan tidak bisa menahan air mata.
Bersama
Ibunya Intan menziarahi pusara suaminya. Ditatapnya tanah basah berwarna merah.
Jasad Agus dikebumikan enam hari lalu,
namun masih ada bekas bunga-bunga yang tidak lagi segar dari para peziara.
“Mas
Agus, maafkan Intan! Pengorbanan cinta Mas Agus begitu besar kepada Intan.
Kenapa Mas Agus harus pergi begitu cepat?” Mata Intan sejenak menoleh ke arah
pagar yang mengelilingi makam. Dari sela-sela pagar itu Intan melihat ada beberapa
orang yang melepaskan tawa dengan baju rayanya yang begitu indah. Intan menahan
tangis dan tergugu dalam diam. Intan memeluk nisan dan airmatanya meleleh dan
menetes di nisan, lalu airmata itu merembes ke dalam pusara.
Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Holiday, Taiwan edisi Agustus 2012