Headline

Baju yang Terbuang

Baju yang Terbuang

Oleh : Diani Ramadhaniesta




            Setahun yang lalu di pinggir jendela kamarku, aku menangis. Kini aku berdiri pada jendela yang lain, jendela dapur. Aku marah dan kebencian menyelimuti hatiku. Benci, namun aku terlalu mencintaimu. Tapi, itu perasaanku setahun lalu tepatnya malam ketika hatiku terlalu terluka. Aku bingung dengan gelombang yang ada di hatiku saat itu. Kau terlalu kejam suamiku. Kejam. Aku tidak pernah mengira sebelumnya jika kau akan melakukan semua ini padaku, istrimu. Mungkin bagimu menagih materi dari istri adalah hal yang biasa, seperti layaknya teman-temanmu yang kerap menagih uang gaji istri yang berada di rantauan. Jika tidak kau terima kiriman, kau sama sekali tak pernah memberiku kabar. Hilang. Berapa SMS aku layangkan untukmu tak satupun kau balas dengan dalih ponselmu tak berpulsa. Tapi jika aku mengingat saat kita belum terikat pernikahan, kau selalu ada untukku, kau selalu memberiku kabar, kau berkali-kali menelponku jika aku marah. Tapi, kini semua itu berubah seratus derajat. Kau sangat beda. Kau terlalu asing bagiku.

Malam itu ketika tangisku pecah aku membuang bajumu dari balik jendela kamarku. Sampai kini baju itu masih saja menyangkut di pipa besar yang menempel pada dinding apartemen majikanku. Baju itu terlihat sangat kumal dan banyak lubang kecil-kecil. Itu bajumu, suamiku. Aku menahan air mata agar tidak meretas lagi. Aku sangat lelah menangis. Apalagi setelah kau merayu perempuan di jejaring sosial. Apakah kau tidak mengerti suamiku, perempuan itu adalah aku. Aku menyamar. Dan malam itu  tangisku pecah. Namun, aku masih bisa memaafkanmu setelah aku membuang bajumu. Tapi, entah mengapa kau malah semakin jauh. Kau telah melupakanku. Tiada kabar darimu. Aku berusaha sekuat tenaga untuk melupakanmu seperti kau melupakanku. Walau itu teramat sulit bagiku, melupakanmu.

Aku tatapi lagi bajumu. Kau ingat bukan suamiku? Aku membawa bajumu karena sengaja. Karena jika aku merindukanmu maka bajumulah pelepas rinduku. Namun, kau tidak sama sepertiku, meminta bajuku untuk pelepas rindumu. Ah, mungkin saja kau telah menyimpannya tanpa aku tahu. Semoga.

Memoriku berpetualang ke masa dua tahun lalu saat aku akan pergi meninggalkan tanah air. Ketika pintu perpisahan semakin terbuka lebar, tangisku pecah karena aku takut berjauhan darimu. Kau bungkam tanpa air mata. Mungkin karena kau lelaki kau sembunyikan tangismu di depanku. Aku masih berfikir positif. Aku mendekap erat tubuhmu, tapi kau tidak  membalas  merengkuh tubuhku. Kau seperti tidak ada rasa kehilangan atas perginya aku. Mungkin kau tidak akan menampakkan kesedihan padaku. Ah, aku tidak mengerti jalan pikirmu, suamiku.

“Ara, perpisahan ini hanya sementara. Hapus air matamu!” bicaramu dingin saat itu. Jarimu tak berusaha menyentuh air mataku. Aku ingin kau lakukan itu. Menghapus air mataku.

Semua itu masih teringat jelas oleh memoriku. Kerap aku bertanya,
“Apakah kau mencintaiku.” Aku hanya ingin memastikan saja, suamiku. Karena seringnya aku mendengar lontaran kata-katamu yang menyinggung tentang materi dariku. Semua itu membuatku sakit dan nyeri sekali.

                                                            ***

“Kenapa sedari tadi kau hanya berdiam diri, Lancip?” kau mendekapku yang masih berdiri di pinggir jendela memandangi bajumu. Untuk apa majikanku mengizinkan kau kemari. Mengapa mereka begitu baik menerimamu yang menyakitiku selama dua tahun ini.

“Lancipku, aku mohon bicaralah!” Lancip? Itu panggilan khasmu pada diriku. Sungguh aku tidak menyukainya. Apakah aku ini kerucut hingga kau memberiku simbol lancip? Apa saat aku cemberut bibirku teramat monyong? Yang jelas aku amat benci panggilan itu. Bukankah Nabi Muhammad saja memanggil istrinya dengan panggilan yang indah-indah. Kau mendekapku semakin erat. Aku pejamkan mataku merasakan sentuhan tanganmu yang melingkari perutku. Tidak ada getaran seperti dulu saat aku mendekapmu ketika aku akan pergi meninggalkan tanah air dan kau enggan mendekapku.

“Kau lihat sekarang aku telah berada di Hong Kong dan bekerja di sini sesuai keinginanmu saat itu. Iya kan? Lalu kenapa kau tidak menyambutku yang telah datang kemari,” Aku mengingat lagi memori lama ketika aku memohon-mohon agar kau menyusulku ke Hong Kong agar kita bisa bersama dan aku bisa melepas rindu walau diakhir pekan. Tapi, saat itu kau selalu menolak keinginanku. Kau menolak dan janjimu kau ingkari. Bukankah sebelum kita menikah kau janji akan bekerja di Hong Kong bersamaku. Tapi setelah kau menikah, kau menolak dan mengingkari ucapanmu sendiri.

“Sekarang aku menepati janjiku, bukan. Ayolah bicara!” kau seperti membaca pikiranku, suamiku.

“Oya, aku  juga sekarang banyak melakukan hal yang sama sepertin kau lakukan, istriku. Aku sekarang menjadi penulis, sama sepertimu. Hanya saja cerita yang aku buat ini hanya tiga yang baru dimuat di media masa karena aku tidak selihai kau dalam bercerita. Tapi setidaknya, ending cerita yang aku buat ini berakhir dengan kebahagian si tokohnya dan kedua tokohnya itu kau dan aku, Dek,” aku tetap bungkam dan hanya melirik sekilas saat kau membuka bukumu yang penuh tulisan tanganmu.

“Kau dulu pernah bercerita bukan, tiga cerpenmu telah mewujud nyata dalam hidupmu, ya kan, Dek?” Dek, iya itu panggilan yang aku suka. Aku mengulum senyum

“Tiga cerpen berjudul Lelaki pelukis, tato, dan tukang becak. Dan benar benar mewujud dalam hidupmu. Lelaki pelukis yang mewakili kakiku yang masih terpasang platinum, tato yang mewakili pundakku yang ada tatonya, dan tukang becak yang mewakili ayahku sebagai pekerja becak. Dek, kau tahu aku telah membuat ending cerita yang sangat indah mengenai hubungan kita,” kau membolak-balikkan halaman buku. Ekor mataku hanya melirik sebentar. Lalu mataku kembali tertuju pada baju lusuhmu yang masih saja tersangkut di pipa.

Aku melihat majikan perempuanku mendongakkan kepalanya dari balik pintu dapur untuk sekedar melihat kita yang masih saja diselimuti suasana hati yang teramat pelik.
“Dek, aku tahu kau saat ini sangat membenciku. Kau pantas membenciku, Dek. Dua tahun kau bekerja di Hong kong yang terpikirkan olehku hanyalah uang bulanan darimu. Kau menuduhku selingkuh dan semua tuduhanmu benar. Aku tidak mengerti kau tahu dari mana, Dek. Tapi, kini aku menyesal dan akan mengubah sikapku untukmu dan untuk rumah tangga kita yang masih seusia jagung. Aku mohon maafkan suamimu ini,” aku pejamkan mata. Sakit dan pedih mendengar pengakuan darimu. Padahal tuduhan selingkuh itu hanya naluriku saja berkata, bukan dari siapa-siapa. Karena setiap kali aku bertanya ke temanmu atau tetangga rumah, mereka cukup pintar menyembunyikan sikap menyimpangmu dariku. Kau rengkuh kembali aku seakan dengan ucapanmu barusan kau takut aku akan meninggalkanmu. Aku berusaha memejamkan mata lagi dan setetes air mata jatuh ke lantai. Aku hanya ingin memastikan apakah aku masih mencintaimu.

“Adek, kenapa adek diam saja sejak Mas datang dari tadi hingga sekarang? Apakah ini wujud marahmu yang sesungguhnya. Tolong, Dek lebih baik kau marah dan meneriakkan suaramu seperti dulu. Sungguh aku menyesal ketika kau marah aku tidak perdulikanmu. Aku menyesal,” kau eratkan lingkaran tanganmu di pinggangku. Tanganku berusaha menyentuh tanganmu dan kau tampak girang. Perlahan aku lepaskan tanganmu agar tak lagi melingkari pinggangku yang semakin buatku sesak.

Aku sudah cukup sakit atas semua perbuatanmu suamiku. Sakit. Dahulu saat kita baru saja menikah, kau telah banyak menyakitiku. Seharusnya kau manjakan aku dengan caramu sebagai suami. Kau tidak bisa bekerja karena tulang kakimu yang masih ada sedikti retakan aku tak mengapa. Tapi, mengapa pula kau manfaatkan sakitmu untuk meminta ini dan itu padaku. Hingga aku harus merogoh sakuku yang kian menipis demi keinginanmu. Kau meminta lagi dan lagi namun akhirnya aku tak mengabulkannya lagi.

Tidak cuma itu, saat kita baru dua minggu menikah kau beraninya memijat kaki wanita lain di depanku, karena wanita itu mengalami kram. Kenapa kau begitu panik, sementara aku, istrimu saat mengalami sakit perut yang hebat saat tengah malam, kau tak perdulikan aku. Bahkan dengan kasarnya kau tampik tanganku dan aku menangis. Kau juga pernah mengusirku dari rumahmu, jika tidak ada ibumu, mungkin aku telah keluar dari rumahmu malam itu juga. Padahal kita masih sebulan berumah tangga kau telah menampakkan tabiat burukmu. Kau perlakukanku seperti budakmu, suamiku. Apa kau tidak sadar aku memilihmu karena rasa kasihanku  berlebihan padamu hingga aku melukai lelaki yang teramat mencintaku. Aku memilihmu karena kakimu yang tidak sempurna, dan aku memilihmu karena kau suguhkan aku cerita tentang banyaknya jumlah jahitan di sekujur tubhmu akibat kau terjatuh dari bangunan. Jika aku memilih lelaki yang mencintaiku, aku merasakan iba yang teramat sangat padamu. Semenatara lelaki yang menyukaiku itu dia adalah lelaki sempurna, siapapun wanita pasti akan menerimanya. Tapi kamu? Bukan aku menganggap rendah padamu, suamiku. Sungguh atas dasar kasihan aku mengiyakan menikah denganmu. Hingga akhirnya waktu bergulir dan aku sungguh sangat mencintaimu. Cintaku kian merekah, namun sayang  kau anggap aku tidak ada. Kau berubah. Kau menjahui aku. Dan kini setelah dua tahun kita berpisah, kau datangi aku di rumah majikanku.

“Adek, kenapa kau melepaskan tanganku? Apa kau tidak lagi…tidak lagi…” kau menangis dan aku bungkam. Baru sekali ini aku melihatmu menangis demi aku. Kau mengusap air matamu di sudut dapur lalu menyobek gulungan tisu yang bertengger di dinding dapur.

“Adek, Mas baru menyadari jika Mas tak kan bisa hidup tanpamu. Tidak bisa. Apa yang kau lihat sedari tadi di luar jendela sana? Apa?” suaramu meninggi hingga suara majikanku yang sedari tadi sedang sibuk berdebat perihal pemilihan universitas untuk anaknya  jadi terdiam.

Air mataku tak lagi kuasa aku bendung. Aku tidak lagi mencintaimu. Walau rasa kasihan ini masih bercokol di ulu hatiku, aku akan berusaha menepisnya. Aku tidak ingin lagi menaruh iba padamu. Aku lelah dengan rasa ibaku yang berlebihan padamu dan semua itu telah membuatku salah memilih.

“Ayo jawab, Dek. Mas jauh-jauh bekerja ke Hong Kong demi adek dan untuk menyusul adek,” tidak akan lagi aku dengar rayuanmu. Tidak. Hatiku berontak.

“Apa yang kau lihat? Mengapa kau diam seperti itu. Aku ingin mendengar suaramu. Aku rindu suaramu. Teramat rindu,” suaramu parau. Kau rindu suaraku, suamiku. Bukankah dulu setiap kali aku telpon kau selalu terdegar tidak senang dan masih kuingat responmu saat itu.

“Istri-istri teman Mas jika telepon itu tidak sesering kamu. Mereka akan telpon sebulan sekali saat mereka akan memberitahu jika mereka telah berkirim uang saja,” aku masih ingat kata-kata yang kau ucapkan sebanyak dua kali itu. Jadi, kau hanya mau menerima telponku jika aku berkirim uang untukmu. Hatiku terluka. Jadi, kau tak mencintaiku dengan tulus seperti aku mencintaimu tulus.

“Adek!” suaramu meninggi. Tanganku segera  menunjuk pada baju kusam milikmu yang setahun yang lalu aku telah membuangnya.

“Apa maksud adik menujuk ke sana?” aku menujuk lagi ke arah baju yang ujungnya bergoyang terkena angin.

“Baju,” ucapku kaku.

“ Baju, baju apa maksudnya?”

“Itu bajumu. Aku telah membuangnya setahun lalu. Saat kau benar-benar melukaiku,” baru kali ini aku mengeluarkan suaraku, “itu artinya baju itu menjawab semua pertanyaan dan permohonan yang kau tujukan untukku, Mas,” aku menahan air mata. Sebetulnya aku sakit mengucapkan kata-kata ini. Aku takut menyakitimu. Ah, biarlah bukankah selama ini kau teramat sering buatku terluka.

“Maksud adik?” kau bertanya penasaran dan sepertinya kau telah mampu mencerna perkataanku. Hanya saja  pertanyaanmu itu untuk memastikan ucapanku.

“Baju yang aku buang setahun lalu mewakili jawaban ini. Aku tidak bisa menerimamu, Mas. Tidak. Sudah sampai di sini rumah tangga kita. Aku ingin sendiri tanpamu disisiku.”

Kau tertegun dan secara tiba-tiba buku yang berisi cerita-ceritamu tentang kau dan aku terjatuh.

Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Holiday, Taiwan edisi Oktober 2013. 


G+

Recent Articles

2 komentar for "Baju yang Terbuang"

  1. endingnya heeeeeeeem.... menggelitik :)

  2. :) endingnya biar pembaca yang nerusin

Leave a reply