Mata gadis itu
tak beralih sedikit pun dari layar komputernya. Gadis yang bernama Shung Yhi
itu sedang mendengarkan surah Al-Fil dari youtube sembari menghafalkannya. Mulut gadis
bermata sipit itu sedikit demi
sedikit mulai menghafal dan seperti biasa dalam waktu 30 menit dia sudah bisa
menghafalkannya. Lalu di depanku Shung Yhi akan membaca dengan suara keras surah yang dihafalkan tersebut.
Shung Yhi
merupakan anak asuhku dan ke dua orang tuanya penganut Agama Budha yang taat.
Namun aku sungguh takjub dengan apa yang aku lihat pada diri Shung Yhi. Dia
berbeda dari anak-anak Hong Kong yang lainnya dan Shung Yhi bagiku sangat
istimewa.
Sepulang
sekolah, sejak lima bulan lalu, Shung Yhi langsung menyalakan komputer tanpa
bertukar baju terlebih dahulu demi mencari surah-surah pendek atau mencari
lagu-lagu anak dari Indonesia. Lagu potong
bebek angsa dan balonku ada lima merupakan lagu kesukaan
Shung Yhi. Kulirik badan Shung Yhi semacam kepanasan dan pungungnya basah oleh
keringat. Aku nyalakan Air conditioner agar Shung Yhi lebih nyaman.
“Mui-mui, Lei Wun sam sina!” aku membujuk Shung Yhi karena
melihat punggungnya basah oleh keringat.
“Sebentar lagi
Cece, aku hampir mengahaf surah
Al-Fil ini,” tangan Shung Yhi meraih botol air di meja belajar dan meneguknya
cepat.
“Segeralah
ganti baju dan makan siang! Sebentar lagi Mommy pulang. Nanti kamu dimarahin Mommy
karena hal ini?” aku berusaha mengingatkan. Sebenarnya aku juga takut jika
Shung Yhi sampai dimarahin Nyonya.
“Hoak, Cece,” ShungYhi segera mengganti
baju yang telah aku siapkan di ranjang tidurnya.
***
Shung Yhi
dengan fasih membaca beberapa ayat-ayat pendek saat aku berada di Toko Chandra
untuk mengirim uang ke Indonesia. Semua mata yang berada di Toko Candra
terperanjat karena mendengar suara Shung Yhi. Bahkan beberapa teman mengambil
video Shung Yhi dan Shung Yhi akan membaca surah-surah yang dihafalkannya itu
dengan malu-malu.
“Ya Allah,
Mbak, anaknya pintar sekali. Beda sekali dengan anak-anak Hong Kong yang lain.
Apakah Mbak yang mengajari?” Aku menggeleng lemah. Mengajari Shung Yhi? Menata
diriku sendiri saja aku tidak becus. Aku berjilbab Karena Shung Yhi yang
menegurku dan aku tidak pernah meninggalkan sholat lagi karena hatiku seperti
terketuk oleh sifat Shung Yhi yang begitu menakjubkan. Boleh dikatakan Shung
Yhi lah yang mengajariu.
“Bagaimana
dengan orang tuanya, Mbak, ketika melihat anaknya begini?” Tanya yang lain
tiba-tiba.
Pertanyaan itu
mengingatkan aku pada kejadian dua minggu yang lalu saat Shung Yhi membaca
surah Al-Ikhlas dan kepergok oleh Nyonya. Maka Nyonya memanggilku dan bertanya
apakah aku yang mengajari Shung Yhi.
“Jangan pernah
kamu mengajari Shung Yhi mantra-mantra aneh itu. Agama kami Budha dan kami taat. Tidak akan satu pun keturunan kami dibiarkan
terjerumus ke agama sesat,” ujarnya saat itu. Sungguh aku tidak terima dengan
penghinaan agamaku saat itu. Namun, aku
hanya bisa terdiam sambil menyimpan air mataku.
Aku berusaha
meyakikankan Nyonya bahwa aku tidak mengajari Shung Yhi. Tangan Nyonya segera
mendaratkan pukulan dan cubitan di bokong bocah yang pintar tersebut. Shung Yhi
berusaha untuk berlari dan dia segera menghambur dalam pelukanku. Bibirnya
berusaha untuk berbicara dalam tangisnya
tak kunjung berhenti.
“Cece, I love
Islam,” Shung Yhi membisikkan kalimat itu dalam dekapanku dan mata ibuya merah
menyala menatapku yang memeluk anaknya.
Kejadian dua
minggu lalu, sungguh menakutkanku dan pertanyaan Mbak tadi telah berhasil mendongkrak
kembali memori yang hampir terlupa dua minggu yang lalau. Mataku mulai panas
dan berkaca-kaca. Mungkin Shung Yhi menyadari ini semua dan dia berhenti
menyanyi lagu potong bebek angsanya dan segera melangkah menghampiriku.
“Cece, lei timkai ham a?” Dengan wajah
polosnya Shung Yhi menghapus air mataku yang hampir terjatuh. Aku peluk tubuh
mungil Shung Yhi dan segera meninggalkan warung Chandra.
***
Shung Yhi
telah berada di depan komputernya dan mencatat huruf-huruf An-Nas. Sementara aku
sedang menata bajunya di lemari. Matahari menyorotkan sinarnya dan menembus
jendela kamar Shung Yhi. Di luar sana panas memang sanga garang sekali, namun
mendengar Shung Yhi membaca ayat-ayat Al-Qur’an makan panas pun terasa sejuk.
“Cece, kau
bisa mengajariku sholat?” Tanya Shung Yhi tiba-tiba.
“No!” sebuah
jawaban yang sangat mengejutkanku terutama Shung Yhi.
Aku tidak
menyangka jika Nyonya telah berdiri di ambang pintu sambil berkacak pinggang.
Mungkin hari ini Nyonya sengaja pulang awal
untuk mengecek kebiasaan kami di rumah. Melihat Nyonya, Shung Yhi berlari memelukku erat meminta
perlindungan.
“Cece, help me please!”
Aku memeluk
tubuh Shung Yhi lebih erat aku tidak mau wanita itu memukuli tubuh Shung Yhi
lagi. Nyonya segera menghampiri kami dan berusaha merebut Shung Yhi dari
pelukanku. Tubuh mungil Shung Yhi ditarik dengan kuat dan menimbulkan bekas
merah di pingganngya. Melihat aku tidak melepaskan Shung Yhi dari pelukanku,
maka nyonya mendaratkan tinjunya tepat ke pelipisku. Baru kali ini Nyonya bermain tangan denganku selama tiga
tahun aku bekerja di sini.
Setelah Shung
berhasil direbut dariku, maka Nyonya
seperti kesetanan menghajar Shung Yhi tanpa ampun. Tubuh yang masih berumur 5
tahun itu dipukuli berkali-kali menggunakan tangannya dan cubitan itu mendarat
di sekujur tubuh Shung Yhi. Dan aku tidak berani untuk sekedar menolongnya.
Namun entah mengapa Shung Yhi diam tidak memangilku untuk meminta tolong. Shung
Yhi seperti pasrah. Belum puas dengan keadaan Shung Yhi yang sudah terkapar lemah, Nyonya menonjok tubuh
Shung Yhi berkali-kali.
“Aku sangat
membenci agama selain Budha, kau tau Shung Yhi?” Nyonya yang menjelma iblis itu
berkali-kali memukuli Shung Yhi dan darah segar mengalir dari hidung dan
telinga begitu tinju nyonya mendarat di mata Shung Yhi. Menyadari anak semata
wayangnya mengeluarkan darah, Nyonya panik dan segera menelpon ambulan.
Shung Yhi
dilarikan ke Rumah Sakit Queen Elizabeth dan kulihat selang menjuntai di
hidungnya. Shung Yhi belum juga siuman. Kulirik Nyonya yang duduk di samping
Shung Yhi menangis dan penyesalan tergurat jelas di wajahnya. Dielus-elusnya
tangan mungil Shung Yhi.
“Maafkan Mommy,
Shung Yhi,” Nyonya berkali-kali mengucapkan kata tersebut aku getir melihat
kejadian ini.
Suara langkah
kaki memasuki ruangan dan ternyata Tuan datang dan masih menggunakan baju kerja. Nyonya segera
berlari menghampiri suaminya seperti ingin mengadu atas semua kejadian ini.
Belum sempat Nyonya mengucapkan satu kata pun
PLAK
Sebuah
tamparan keras mendarat di pipinya Nyonya. Nyonya memandang tak percaya dengan
suaminya dan kulihat mata Nyonya berkaca namun tidak dibiarkannya untuk
menetes. Nyonya segera beranjak dari tempat itu juga dan pergi. Bersamaaan
dengan kepergian Nyonya, Shung Yhi memanggilku.
“Cece…cece…”
aku segera menghampiri Shung Yhi.
“Sayang, cece
ada di sini,” aku berbisik pelan di telinga Shung Yhi. Sungguh aku menyesal
sekali tidak berbuat apapaun saat itu untuk menolong Shung yhi, karena tonjokan dari Nyonya cukup membuat kepalaku
berputar-putar saat itu.
Mata Shung Yhi
mulai mengerjap-ngerjap dan perlahan terbuka,” Cece, ajari aku untuk membaca
kalimat syahadat. Karena tadi aku bertemu pangeran tampan dan memperlihatkanku
sebuah istana. Katanya jika aku ingin ke dalam istana itu, aku harus mempunyai
kunci yaitu syahadat,” Ya Allah apakah
itu artinya Shung Yhi akan pergi. Aku menatap wajah Tuan ragu. Tuan mengangguk
dan menyuruhku mengabulkan permintaan Shung Yhi.
“Ashadualla illa
haila alla Wa ashaduannamuhamadarusullah,” perlahan-lahan Shung Yhi membaca
kalimat syahadat itu dan perlahan-lahan pula mata sipitnya terpejam. Aku menangis
memeluk tubuh Syung Yhi dan para dokter segera memasuki ruangan Shung Yhi dan
menyatakan Shung Yhi telah meninggal dunia.
***
Aku melihat
Shung Yhi memakai baju putih bersih dan mukanya bercahaya indah sekali. Tangan
mungilnya di letakkan dia atas ke dua tanganku dan dia dia tersenyum.
“Cece,
terimakasih. Kau telah menolongku untuk pergi ke istana itu. Aku sangat bahagia
di sana. Aku sangat menyayangimu Cece. Cece harus berjanji untuk menjaga islam
di hati Cece. Agar nanti Shung Yhi bisa bertemu Cece kembali,” Shung Yhi berjalan
dan melambaikan tangannya dan aku berteriak-teriak memanggil Shung Yhi agar kembali
padaku.
Aku terjaga
dari tidurku dan keringatku meleleh di kening. Semua ini hanya mimpi. Mataku
menoleh sebuah meja di samping tanjangku ada sebuah kertas. Dan aku segera
membacanya. Aku hampir tidak percaya
atas apa yang aku baca saat ini. Majikanku memutuskan kontrak denganku. Aku
diinterminit.
Cerpen ini pernah dilombakan dalam Milad FKMPU dan memenangkan juara ke 2 sekaligus dimuat di Majalah Tazkyah edisi Januari 2014
Nangis aku
Terimakasih mbak sudah mampir :)
Sangat indah. Bagus ceritanya.
Mbk Ayda terimakasih :)