Kamis, 29 Mei , 2025
Headline
    Artikel
    Cernak
  • Bukuku
  • Cerpen
    • Oleh: Diani Ramadhaniesta Eli segera menemui daidai, ketika majikannya itu memanggilnya. Ia lalu duduk d [...]

    • Duta Lingkungan

  • Puisi
    • Di pelantara senja lelaki tua mengibaskan sajaknya Duduk bersila diantara semak pandan telaga tenang Den [...]

    • Ritme Hidupku

Waktu Penghabisan


Siang itu cuaca cukup panas, padahal tadi pagi hujan sangat lebat melanda Yogyakarta. Baju yang dikenakan Badrun yang semulanya basah kini telah mengering. Namun, meninggal bau yang tidak sedap jika orang berpapasan dengannya. Keringat yang meleleh di kening sesekali dilap dengan sapu tangan lusuh bergambar seorang wanita. Wanita yang telah membuatnya pontang-panting hingga sekarang.Wanita yang telah menghianati cintanya, wanita yang membuat rumah tangganya sedikit tidak harmonis, wanita yang membuat Badrun sulit untuk bekerja ke Arab Saudi, karena sebuah tato yang ada pada lengannya. Adanya tato itu karena wanita itu. Tapi, entahlah mengapa Badrun tidak membuang saja sapu tangan lusuh bergambara wanita itu.

 

            Dalam sapu tangan itu, Badrun melihat masa lalu. Badrun bisa mengoreksi dirinya yang selalu merasa bersalah menduakan istri tercinta, demi wanita tersebut.

 

            “Badrun, engkau suka sama aku? Buktikan rasa cintamu itu,” pinta wanita yang bernama Fani.

 

            “Baik. Apa yang kau mau, Fani?” tangan Badrun mendekap tubuh Fani yang postur tubuhnya lebih tinggi dibanding Badrun.

 

            “Aku ingin engkau menceraikan istrimu dan kau harus memasang tato dengan gambarku di lenganmu!” pinta Fani.

 

            Badrun terkejut atas apa yang diminta Fani. Permintaan yang sesungguhnya sulit untuk Badrun penuhi. Wajah istrinya yang sedang hamil tiba-tiba bermain di kepalanya. Istri yang begitu sangat mencintainya dan menerima keadaan Badrun apa adanya, bukan ada apanya. Saat ini istrinya tengah hamil muda untuk anak Badrun yang pertama.

 

            Bola mata Badrun mengelilingi Skyview Bar di Burj Arab, Jumeirah. Badrun memikirkan permintaan Fani. Apa dia akan mengabulkannya? Seorang TKI Ilegal yang mengungsi di Bar ini untuk menyambung hidup katanya. Mungkin untuk mentato lengannya, Badrun bisa memenuhi permintaan gadis yang tidak perawan yang ada di dekapannya itu.

 

“Bagaimana?” tanyanya kembali.

 

“Aku akan menuruti permintaanm, Fani.” Jawab Badrun. Tapi, sesungguhnya Badrun tidak bisa menceraikan istrinya. Dia akan berusaha membohongi Fani. Harus.

 

Selang tiga bulan, ternyata Fani berpaling dari Badrun, padahal Badrun sudah mentato cukup besar di bagian lengannya yang kekar. Tato itu bergambar Fani, gadis yang begitu cantik yang ada di Skyview Bar. Untung saja Badrun tidak memenuhi semua permintaan Fani, jika tidak mau jadi apa nasibnya? Menceraikan istri yang begitu menyayanginya dan sholeha pula. Namun, entah dari mana istrinya akhirnya tahu  jika di Arab dia selinguh dengan wanita penghibur.

 

Saat Badrun pulang ke Indonesia dan hendak kembali lagi ke Arab, ternyata tidak bisa dengan alasan bahwa Badrun bertato. Persyaratan ke Arab harus bebas dari tato. Padahal, majikan Badrun sangat menyukai hasil kerja Badrun yang selalu menjemput Majikan tepat waktu. Majikannya sangat kecewa ketika Badrun, sopir pribadinya  mengatakan tidak bisa ke Arab karena tato yang ada di lengannya.

 

Nasi telah menjadi bubur, begitulaah pepatah mengatakan. Kini hanya penyesalan Badrun yang tidak berarti. Badrun ingin sekali melaser tatonya, tapi dari mana uang untuk melaser lengannya. Jangankan untuk melaser, untuk berangkat dari Giwangan menuju Yogyakarta saja dia harus menjual cincin pernikahan yang ada di jari manis istrinya.

 

                                                ***

Malam kian merangkak, dingin menusuk persendian tulang. Mobil berlalu-lalang dan sesekali mengepulkan asapnya ke muka Badrun yang sedang menyusuri jalanan. Alangkah malangnya dia. Dari kantor, warung, buruh bangunan dia melamar pekerjaan tapi hasilnya nihil. Kini genap sebulan dia terombang ambing di Yogyakarta. Setiap orang memandang takut karena tato yang sangat besar di lengannya.

 

Hujan tiba-tiba datang lagi melanda Yogyakarta. Badrun berlari mencari tempat berteduh. Bukan tas punggungnya saja yang basah oleh air hujan, tapi baju dan berkas-berkas untuk melamar kerja pun basah.  Badrun segera ke emperan warung yang sudah tutup. Berdiri di warung itu berteman gelap.

 

Badrun tiba-tiba merasakan sakit yang sangat pada perutnya. Melilit seperti ada sesuatu yang mengaduk-aduk isi perutnya. Badrun sudah tiga hari tidak makan, karena uang dari hasil penjualan cincin telah habis. Badannya gemetar dan keringat dingin bercucuran. Berkas-berkas yang dia pegang jatuh berserakan. Badrun hanya menoleh tanpa memungut. Tangannya sibuk memegangi perut. Badrun terjatuh dan duduk besandar pada tembok. Matanya menatap pada lengan yang bertato seorang wanita. Remang-remang dalam gelap tato itu seperti mengejek pada kegetirannya. Badrun meludahi tato wanita itu. Perbuatan yang sangat bodoh pikirnya.

 

“Semua ini karena ulahmu, Fani.” Badrun mencakar tato itu, dan  lengannya  membekas guratan merah tanpa darah, “jahanam kau Fani, mati kau wanita busuk!” umpatnya.

 

Badrun membuka tas dan mencari-cari sebuah silet yang biasa dia gunakan untuk mencukur kumisnya. Dalam remang dia mengaduk-aduk isi tas. Silet telah berada di antara kedua jari jempol dan jari telunjuk. Badrun tertawa terbahak-bahak, sesekali orang yang berlalu-lalang di jalan raya menoleh ke warung yang gelap gulita. Dengan hati-hati Badrun mengupas tato yang ada di lengannya. Dia tidak melakukan percobaan  bunuh diri, melainkan menghilangkan tato itu dari lengannya. Namun, karena gelapnya malam dan mata Badrun sedikit kabur, tato yang gambarnya sampai ke pergelangan tangan ikut teriris. Badrun meronta dan menggelepar. Teriakannya membahana di gelapnya malam dan derasnya hujan. Daging lengannya terkelupas dan membentuk cekungan yang dalam di tangan kekarnya.

 

Malam itu menjadi kisah yang bersejarah bagi Badrun yang tidak akan mungkin dia ingat lagi atau untuk kembali lagi ke warung itu. Karena perjalanan sudah cukup sampai di sini. Tidak ada penyesalan lagi untuk yang kesekian kali. Keesokan harinya berita menghiasi layar televisi.

 
Diani Ramadhaniesta adalah nama pena dari Diani anggarawati. Perempuan pecinta hiking ini lahir di Kendal, 19 Maret 1989. Disela-sela kesibukannya sebagai pekerja di Hongkong, selalu memanfaatkan waktu untuk menulis. Karyanya ada pada antologi cerpen

Cerpen ini telah dibukukan dalam Antologi Buku SAY NO TO TATTO

G+

Recent Articles

0 komentar for "Waktu Penghabisan"

Leave a reply

    KULINER
  • Wisata