Siang itu cuaca
cukup panas, padahal tadi pagi hujan sangat lebat melanda Yogyakarta. Baju yang
dikenakan Badrun yang semulanya basah kini telah mengering. Namun, meninggal
bau yang tidak sedap jika orang berpapasan dengannya. Keringat yang meleleh di
kening sesekali dilap dengan sapu tangan lusuh bergambar seorang wanita. Wanita
yang telah membuatnya pontang-panting hingga sekarang.Wanita yang telah
menghianati cintanya, wanita yang membuat rumah tangganya sedikit tidak
harmonis, wanita yang membuat Badrun sulit untuk bekerja ke Arab Saudi, karena
sebuah tato yang ada pada lengannya. Adanya tato itu karena wanita itu. Tapi,
entahlah mengapa Badrun tidak membuang saja sapu tangan lusuh bergambara wanita
itu.
Dalam sapu tangan itu, Badrun
melihat masa lalu. Badrun bisa mengoreksi dirinya yang selalu merasa bersalah
menduakan istri tercinta, demi wanita tersebut.
“Badrun, engkau suka sama aku?
Buktikan rasa cintamu itu,” pinta wanita yang bernama Fani.
“Baik. Apa yang kau mau, Fani?”
tangan Badrun mendekap tubuh Fani yang postur tubuhnya lebih tinggi dibanding
Badrun.
“Aku ingin engkau menceraikan
istrimu dan kau harus memasang tato dengan gambarku di lenganmu!” pinta Fani.
Badrun terkejut atas apa yang
diminta Fani. Permintaan yang sesungguhnya sulit untuk Badrun penuhi. Wajah
istrinya yang sedang hamil tiba-tiba bermain di kepalanya. Istri yang begitu
sangat mencintainya dan menerima keadaan Badrun apa adanya, bukan ada apanya.
Saat ini istrinya tengah hamil muda untuk anak Badrun yang pertama.
Bola mata Badrun mengelilingi
Skyview Bar di Burj Arab, Jumeirah. Badrun memikirkan permintaan Fani. Apa dia
akan mengabulkannya? Seorang TKI Ilegal yang mengungsi di Bar ini untuk
menyambung hidup katanya. Mungkin untuk mentato lengannya, Badrun bisa memenuhi
permintaan gadis yang tidak perawan yang ada di dekapannya itu.
“Bagaimana?” tanyanya kembali.
“Aku akan menuruti permintaanm, Fani.” Jawab Badrun. Tapi, sesungguhnya
Badrun tidak bisa menceraikan istrinya. Dia akan berusaha membohongi Fani.
Harus.
Selang tiga bulan, ternyata Fani berpaling dari Badrun, padahal Badrun
sudah mentato cukup besar di bagian lengannya yang kekar. Tato itu bergambar
Fani, gadis yang begitu cantik yang ada di Skyview Bar. Untung saja Badrun
tidak memenuhi semua permintaan Fani, jika tidak mau jadi apa nasibnya?
Menceraikan istri yang begitu menyayanginya dan sholeha pula. Namun, entah dari
mana istrinya akhirnya tahu jika di Arab
dia selinguh dengan wanita penghibur.
Saat Badrun pulang ke Indonesia dan hendak kembali lagi ke Arab, ternyata
tidak bisa dengan alasan bahwa Badrun bertato. Persyaratan ke Arab harus bebas
dari tato. Padahal, majikan Badrun sangat menyukai hasil kerja Badrun yang
selalu menjemput Majikan tepat waktu. Majikannya sangat kecewa ketika Badrun,
sopir pribadinya mengatakan tidak bisa
ke Arab karena tato yang ada di lengannya.
Nasi telah menjadi bubur, begitulaah pepatah mengatakan. Kini hanya
penyesalan Badrun yang tidak berarti. Badrun ingin sekali melaser tatonya, tapi dari mana uang untuk
melaser lengannya. Jangankan untuk melaser, untuk berangkat dari Giwangan
menuju Yogyakarta saja dia harus menjual cincin pernikahan yang ada di jari
manis istrinya.
***
Malam kian merangkak, dingin menusuk persendian tulang. Mobil
berlalu-lalang dan sesekali mengepulkan asapnya ke muka Badrun yang sedang
menyusuri jalanan. Alangkah malangnya dia. Dari kantor, warung, buruh bangunan
dia melamar pekerjaan tapi hasilnya nihil. Kini genap sebulan dia terombang
ambing di Yogyakarta. Setiap orang memandang takut karena tato yang sangat
besar di lengannya.
Hujan tiba-tiba datang lagi melanda Yogyakarta. Badrun berlari mencari
tempat berteduh. Bukan tas punggungnya saja yang basah oleh air hujan, tapi
baju dan berkas-berkas untuk melamar kerja pun basah. Badrun segera ke emperan warung yang sudah
tutup. Berdiri di warung itu berteman gelap.
Badrun tiba-tiba merasakan sakit yang sangat pada perutnya. Melilit
seperti ada sesuatu yang mengaduk-aduk isi perutnya. Badrun sudah tiga hari
tidak makan, karena uang dari hasil penjualan cincin telah habis. Badannya
gemetar dan keringat dingin bercucuran. Berkas-berkas yang dia pegang jatuh
berserakan. Badrun hanya menoleh tanpa memungut. Tangannya sibuk memegangi
perut. Badrun terjatuh dan duduk besandar pada tembok. Matanya menatap pada
lengan yang bertato seorang wanita. Remang-remang dalam gelap tato itu seperti
mengejek pada kegetirannya. Badrun meludahi tato wanita itu. Perbuatan yang
sangat bodoh pikirnya.
“Semua ini karena ulahmu, Fani.” Badrun mencakar tato itu, dan lengannya
membekas guratan merah tanpa darah, “jahanam kau Fani, mati kau wanita
busuk!” umpatnya.
Badrun membuka tas dan mencari-cari sebuah silet yang biasa dia gunakan
untuk mencukur kumisnya. Dalam remang dia mengaduk-aduk isi tas. Silet telah
berada di antara kedua jari jempol dan jari telunjuk. Badrun tertawa
terbahak-bahak, sesekali orang yang berlalu-lalang di jalan raya menoleh ke
warung yang gelap gulita. Dengan hati-hati Badrun mengupas tato yang ada di
lengannya. Dia tidak melakukan percobaan
bunuh diri, melainkan menghilangkan tato itu dari lengannya. Namun,
karena gelapnya malam dan mata Badrun sedikit kabur, tato yang gambarnya sampai
ke pergelangan tangan ikut teriris. Badrun meronta dan menggelepar. Teriakannya
membahana di gelapnya malam dan derasnya hujan. Daging lengannya terkelupas dan
membentuk cekungan yang dalam di tangan kekarnya.
Malam itu menjadi kisah yang bersejarah bagi Badrun yang tidak akan
mungkin dia ingat lagi atau untuk kembali lagi ke warung itu. Karena perjalanan
sudah cukup sampai di sini. Tidak ada penyesalan lagi untuk yang kesekian kali.
Keesokan harinya berita menghiasi layar televisi.
Diani
Ramadhaniesta adalah nama pena dari Diani anggarawati. Perempuan pecinta hiking
ini lahir di Kendal, 19 Maret 1989. Disela-sela kesibukannya sebagai pekerja di
Hongkong, selalu memanfaatkan waktu untuk menulis. Karyanya ada pada antologi
cerpen
Cerpen ini telah dibukukan dalam Antologi Buku SAY NO TO TATTO