Lelaki Pelukis
Lelaki Pelukis
Diani Ramadhaniesta
Cuaca panas menyelimuti bumi Kendal. Cuaca
yang baik seperti inilah yang ditunggu-tunggu para petani ketika musim tembakau
tiba. Dengan begitu mereka bisa mendapatkan
tembakau yang dijemurnya benar-benar kering. Dan tentunya tembakau akan bernilai lebih, karena aroma dan
warnanya lebih bagus dibanding keadaan tembakau yang dijemur saat cuaca buruk.
Aku duduk di depan rumah memandangi tetanggaku
yang sibuk membalikkan rigen(1). Agar
tembakau yang berada di bagian bawah bisa terbalik keatas. Diantara mereka aku
lihat ibu juga sibuk melakukan hal yang sama. Ingin rasanya aku membantu, tapi apa daya. Dengan satu tanganku yang
tidak berfungsi dan kakiku yang pincang apabila aku berjalan, sangat tidak
mungkin aku membantu ibu.
Aku selalu merasa iba apabila mendung tiba –
tiba datang. Ibu berlari – lari dari
sawah untuk menyelamatkan tembakaunya dari guyuran air hujan. Ketika sampai di
tempat penjemuran, ibu masih sibuk mencari seseorang yang bersedia membantunya.
Biasanya atas jasa orang yang menolong ibu, ibuku memberi uang rokok sebesar
Rp. 10.000.
Aku sangat sedih dengan keadaanku sendiri. Aku
kecewa pada diriku sendiri. Aku
benar-benar tidak berguna, umpatku suatu ketika. Semua keadaan ini karena
kejadian setahun yang lalu. Kejadian itu telah merenggut segala-galanya dariku.
Ketika aku akan menjemput Lisa, pujaan hatiku dari sekolahnya. Sebuah truk
besar dari arah tikungan yang tajam itu, tiba-tiba menabrak dan menggilas
lengan kananku dan aku terpelanting lagi, kemudian kaki kiriku terserempet
mobil sedan yang kehilangan kendali saat aku terseret kearahnya. Lengan kananku remuk tak berbentuk. Sementara kaki
kiriku, tulang persendiannya patah dan tidak bisa disatukan kembali. Aku segera
di bawa ke rumah sakit Karyadi, Semarang. Rasa sakit yang menjalar kesemua
syaraf-syaraf, persendianku, ngilu. Akhirnya ketetapan dari dokter tanganku
harus di amputasi.
“Mungkin itu lebih baik,dari pada aku mempunyai tangan yang
sangat menjijikkan seperti ini”, batinku saat itu. Namun kakiku tidak diamputasi,hanya saja tulang
kaki kelihatan mengecil. Mungkin tulang kakiku telah menyusut.
Tapi toh sekarang
aku sangat menyesal telah kehilangan tangan kananku. Aku tidak bisa melukis
lagi. Terkadang aku mencoba untuk melukis dengan tangan kiri, namun gagal
karena tangan kiriku entah mengapa seperti mati dan tidak bisa digerakkan. Aku tidak bisa membantu ibu mengangkat
tembakau disaat hujan atau disaat fajar menyingsih. Aku hanya bisa memandangi
ibu yang susah payah tanpa melakukan apapun juga.
Soal kekasihku Lisa, dia telah meninggalkanku.
Kini ia telah berumah tangga dengan pria pilihan orang tuanya. Padahal,
kejadian setahun lalu yang menyebabkan aku seperti ini, karena semata-mata aku
ingin menjemput Lisa. Betapa aku sangat mencintai dia, namun ia menghianatiku.
Semua ini mungkin dikarenakan kecacatan fisikku semata.
***
Ujung kanvasku menari-nari di obyek yang aku
lukis. Hanya untuk melukis bibir agar terkesan sensual begitu sulit bagiku. Aku
hanya ingin memberi warna putih dipertengaan bibir itu. Aku ingin memberi kesan bibir yang berkilau.
Jadi, seakan-akan bibir itu terlihat begitu kenyal, berisi, dan bibir itu
seolah-olah bernyawa. Namun itu kemahiranku yang dulu. Tapi kini, gambar bibir
yang aku buat tidak sebagus yang dulu. Kanvas itu mengikuti kaki kananku yang
meliuk–liuk. Bibir itu jadi semacam orang yang memakai lipstik tidak merata,
berlepotan. Sangat menyedihkan hasil gambarku. Aku memang tidak terbiasa
melukis menggunakan kaki ‘BRAAAAAK…’ aku
tendang penyangga kertas lukisan. Aku
lemparkan kanvas dan hampir saja mengenai wajah ibu. Ibu terbengong – bengong dan menggelengkan
kepalanya.
“Birin! Kenapa lagi nak?” tanya ibu mengiba.
“Aku bosan dengan semua ini, Bu. Aku
tidak bisa melukis lagi sebagus dulu.
Aku rasa hidupku ini gak berguna, Bu. Aku selalu merepotkan Ibu,” aku tertunduk
lesu.
“Birin, Jangan putus asa, Nak! Kamu sangat
berguna bagi Ibu. Kamu yang menemani Ibu selama ini, semenjak Bapakmu meninggalkan
Ibu, untuk merantau, namun tidak kembali lagi,” ibu menghampiriku.
Aku hirup nafas panjang-panjang dan aku
lepaskan nafas seketika. Aku hanya ingin sedikit melepaskan bebanku ini bersama
hembusan nafasku. Tapi tiap kali aku melakukan hal yang sama, ternyata tetap saja aku terbelenggu dengan
perasaanku.
“Aku sudah tidak mempunyai tangan, Bu. Tangan
kiriku pun kaku tidak bisa digerakkan. Lukisanku mempunyai daya nilai
tersendiri karena kelincahan tangan kananku melukis, Bu. Tapi sekarang,
jangankan melukis, untuk menyuapkan sesendok nasi pun aku tidak bisa,” kutatap
keluar jendela tampak olehku Lisa bersama suaminya sedang membolak balikkan
tembakau mereka.
“Birin! sudahlah Nak, jangan mengingat Lisa
lagi!” ucapan ibu barusan seolah-olah mengerti akan isi hatiku “ Ibu yakin,
lukisanmu suatu saat nanti akan
dicari-cari orang. Percayalah pada Ibu, Birin!”
“Iya, Bu.
Terimahkasih.”
***
Aku duduk dipojok dapur menatap alat-alat
lukisku yang akan aku simpan dalam
rak besi berkarat. Aku taruh
papan lukisan di dalam kantong plastik merah berukuran besar. Selanjutnya aku
menata dua kanvas yang telah berusia lama dan tiga kanvas baruku yang aku beli
sebelum peristiwa kecelakaan itu terjadi. Aku bersihkan cat yang telah
mengering di papan lukis, lalu aku masukkan bersama-sama dengan alat lukis lainnya. Semua kulakukan dengan kedua kaki,
sampai terasa pegal-pegal kakiku. Tidak sadar ibu ternyata memperhatikanku.
“Apa yang kamu
lakukan Birin?” tanya ibu seketika. Aku menoleh kebelakang. Aku dapati Ibu berdiri di ambang pintu
memperhatikanku, tapi aku diam dan aku meneruskan lagi membungkusi alat-alat
lukisku.
“Birin! Kamu dengar Ibu tidak?”
“Ya dengar,
Bu. Ibu mau menghalangi niat ku ini, Bu? aku rasa semua alat-alat lukis
ini sudah tidak berguna,dengan hilangnya satu tangan kananku, dan matinya
tangan kiriku,” kuseka keringat yang
mengalir di dagu menggunakan pundak kiri.
“Birin, coba kamu baca ini!” ibu menyodorkan
buku berukuran kecil.
“Apa ini Bu?” aku mendongak kearah ibu.
“Kamu baca! Ibu yakin setelah kamu membaca
ini, bisa jadi kamu mengeluarkan kembali alat-alat lukismu yang kamu simpan
itu,” ibu berlalu dan keluar. Mungkin ibu akan mengecek tembakau.
Aku buka buku kecil pemberian ibu. Pada sampul
depan ada beberapa gambar orang yang cacat fisiknya sedang melukis dengan
menggunakan mulut. Ada pula yang menggunakan kakinya. Aku membaca keseluruhan
buku ini, karena sungguh aku sangat penasaran. Aku kagum pada tokoh-tokoh yang
disebutkan di dalam buku ini. Ada Zohreh Etezad Saltaned, perempuan paruh baya
yang berasal dari Teheran Utara, Iran.
Ia melukis menggunakan kakinya. Batang kanvas dijapit kedua kakinya.Yah,
sama denganku, aku rasa. Tapi ia sangat lihai dalam melukis. Ia pun bisa dengan
mudah melakukan pekerjaan rumah tangga hanya dengan menggunakan kedua kakinya.
Karyanya mendapat respon dari seluruh dunia. Kelebihan lainnya adalah dia bisa
dengan mudah menenun karpet Persia
Tokoh berikutnya adalah Huang Guofu, pelukis
tanpa lengan dari Cina. Meski ia pria cacat tanpa lengan kelebihannya dalam
dunia seni melebihi manusia normal. Huang Guofu akhirnya menjabat sebagai wakil
kurator Chongqiang Talents Museum di China. Huang Ghofu juga pernah menjalani
proyek besar melukis gulungan panjang yang mengisahkan sejarah kota Chongqiang.
Tokoh dari Indonesia sendiri yang masuk dalam buku kecil ini adalah Agus Yusuf
asal Madiun. Dari perjalannya yang begitu rumit, akhirnya ia mengakhiri
perjalannya dan menjadi student member AMFPA
(Association of Mouth and Foot Painting Artists) di Jakarta. Akhirnya ia
berangkat ke Jakarta tepatnya di jalan Lebakbulus untuk menjadi anggota AMFPA.
Padahal kakinya juga sama sepertiku, bahkan kedua tannganya hanya sebatas siku.
Keadaanya sama denganku. Tapi aku kenapa selama ini hanya mengeluh. Mereka
tidak punya tangan, namun masih bisa
melukis dengan kaki atau mulut mereka. Sekali lagi kenapa aku selalu mengeluh?
Aku ingin seperti Zohreh, aku ingin seperti Huang Guofu dan aku ingin sekali
seperti Agus Yusuf. Kali ini aku harus belajar mengasah kaki kananku agar tidak
kaku.
Aku keluarkan kembali alat-alat lukisku yang
baru saja aku simpan. Ah, benar kata ibu, setelah aku membaca buku itu, aku
jadi mengeluarkan alat-alat lukis. Tidak perlu menunggu berhari-hari agar aku
mengeluarkan alat lukisku kembali. Baru setengah jam yang lalu aku
menyimpannya, kini aku keluarkan kembali. Aku tersenyum sendiri saat aku
mengeluarkan kembali alat-alat lukisku. Betapa konyolnya aku.
***
matahari keemasan menyembul
digumpalan awan. Angin turut serta mengibaskan rambut gondrongku. Ah, nyaman
sekali sore ini. Rambutku begitu indah di terpa angin. Walaupun ibu
berkali-kali memarahiku untuk memotong rambut, namun aku selalu berdalih ‘Aku lebih kelihatan tampan dengan rambut
gondrongku Bu,’ ibuku hanya menahan tawa dan berlalu. Yah, setidaknya dulu aku adalah seorang pria
yang dikejar-kejar kaum hawa. Kulit putihku, alis tebalku, hidung mancungku,
rambut gondrongku, badanku yang tinggi kekar ditambah lagi aku sangat mahir
melukis. Semua mengagumiku dan ingin sekali menjadi belahan jiwaku. Bukannya
aku sombong, tapi ini fakta. Tidak salah ‘kan aku berbagi sedikit tentang siapa
aku? Namun aku sangat setia pada seorang gadis yang benar-benar mampu mencuri
hatiku, Lisa dialah gadis itu. Yah, sudahlah aku tidak ingin mengenang dia
lagi. Sekarang dia adalah istri orang. Lagi pula fisikku saat ini jauh berbeda
dari yang dulu. Untuk apa mengingat–ingat ketampananku dulu. Tidak berguna
bukan?
Aku ingin melukis gunung yang berada
dibelakang rumahku yang saat ini kelihatan lebih indah karena semburat langit
jingga itu. Sebelumnya aku memang sudah melukis gunung ini, namun itu dulu,
ketika aku masih mempunyai tangan dan kakiku belum pincang. Aku ingin mencoba
menggunakan kaki kananku. Kali ini lukisanku lebih baik dari kemarin. Aku ingin melukis obyek natural dengan teknik
realis(2) untuk keindahan sore ini.
“Wah, Birin, semangatmu membara lagi
rupanya,” kudengar suara Pak Lurah
menyapaku. Lalu kuletakkan kanvasku dimeja bulat kecil didepanku.
“Eh, Bapak, Iya, Pak. Saya mau belajar
menggunakan kaki kanan saya untuk melukis. Ada apa ya Pak tumben Bapak singgah
kegubuk saya?” tanyaku.
“Begini Birin. Kamu mau tidak
mengikuti Pasar Seni Lukis Indonesia, di Surabaya yang akan diadakan pada
tanggal 7-17 Mei 2010. Saya berharap kamu mengikutinya karena ini kesempatan
bagus buat kamu Birin.”
“Apa saya bisa Pak?”,tanyaku.
“Kamu jangan berkecil hati, kamu
coba saja! Mereka saja bisa, kenapa kamu tidak?” pak lurah mengerlingkan
matanya.
“ InsyaAllah akan saya coba Pak. Terimakasih
untuk informasinya, Pak.”
“Ya, sama-sama, Birin. Jika kamu
benar-benar ingin ikut even ini, kamu bilang pada saya, nanti saya akan
mengantarkanmu,” Pak Lurah menepuk-nepuk pundakku dan pamit pulang.
***
Disebuah gedung kesenian di Surabaya yang
cukup luas, dihadiri para pelukis yang notabene cacat fisik dan para kolektor
lukisan. Aku hanya membawa lima lukisan terbaikku. Sekawanan kuda yang berlari
liar, seorang anak yang berdiri di tebing yang cukup curam, burung yang
bertengger di dahan pohon sakura, cahaya matahari yang menyemburat dilangit
jingga dengan background gunung, yang saat itu aku ambil dibelakang rumahku,
dan yang terakhir lukisanku adalah dua orang wanita yang mengangkat tembakau.
Aku sebenarnya sangat minder. Sungguh
karya-karyaku serasa tidak sebanding dengan karya para pelukis lainnya. Aku
merasa menyesal kenapa harus mengikuti even ini. Toh, paling mereka cuma
mencelaku. Liat saja dari tadi lukisanku hanya jadi bahan lirikan mereka.
Sungguh sangat menyedihkan.
“Apa anda yang bernama saudara Birin?” tanya
seorang pria berdasi biru dengan stelan jas hitam.
“Ya Pak, saya Birin,” jawabku dan aku anggukan
kepalaku.
“Perkenalkan saya Abdi. Saya
adalah seorang kolektor lukisan. Saya sangat tertarik dengan lukisan anda yang
ini,” sambil menunjuk ke lukisan dua orang wanita yang sedang mengangkat
tembakau. ”Dan yang ini,” lanjutnya,sambil menunjuk lukisan seekor burung yang
bertengger di pohon sakura.
“Bapak yakin dengan pilihan
Bapak?” aku terheran-heran tidak percaya.
“Ya, yakin sekali.Saya menilai lukisan dua
orang wanita yang sedang mengangkat tembakau itu ibarat wanita yang bekerja
keras dan mereka tidak mengeluh. Liat saja
wajah mereka yang anda toreh
dengan kanvasmu! Begitu teduh.”
“Lukisan itu terinspirasi dari keseharian
saya melihat tetangga-tetangga saya mengangkat tembakau baik pria maupun wanita
pada saat musim tembakau,” jelasku.
Kulihat Pak Abdi manggut-manggut sambil memegangi dagunya.
“O, bagus sekali. Bagaimana jika anda saya
kenalkan dengan teman saya dari pimpinan AMFPA?” pertanyaan Pak Abdi
mengejutkanku.
“Maksud Bapak Mr. Hank Jacson, ya Pak,”
tanyaku
“Wah, anda telah mengenal beliau rupanya,” Pak
Abdi tersenyum.
“Saya pernah membaca di dalam sebuah buku
kecil pemberian Ibu saya, Pak,” jawabku.
“O, begitu rupanya.Yah nanti saya akan
memperkenalkan anda pada teman saya,dan ingin menunjukkan karyamu pada beliau.
Baiklah saya mengambil dua lukisan ini. Berapa harganya, Birin?”Tanya Pak Abdi.
“Ya Pak. Harga keduanya saya beri untuk Bapak
5 juta saja Pak,” sambil aku membungkus kedua lukisan itu dengan kertas
cokelat. Pak Abdi segera membantuku membungkus lukisannya, karena melihat
kakiku yang kesusahan,“Lukisan anda sangat bagus dan bernilai seni sekali,
kenapa anda mentarget harga yang miring?” Tanya Pak Abdi.
“Biasanya saya menjualnya dengan harga segitu
Pak,” jawabku.
“Ya, sudah ini saya beri tujuh juta untuk dua
lukisan ini,” sambil menyodorkan uangnya.
***
Aku seperti bermimpi saat ini. Ternyata Pak
Abdi adalah orang yang menolongku. Allah memberiku anugerah lewat perantara Pak
Abdi. Aku sekarang telah resmi menjadi anggota AMFPA. Aku pun bersama ibu
membeli rumah di kawasan Lebakbulus, Jakarta. Aku ingin saat ada pertemuan rutin keanggotaan
AMFPA, aku tidak perlu repot-repot pulang pergi Jakarta-Kendal.
Tak henti-hentinya aku bersyukur, ternyata cobaan selama ini yang aku
alami ada hikmah di dalamnya. Aku
menjadi seorang pelukis terkenal karena berkat jasa Pak Abdi dan juga
AMFPA.Tentang AMFPA adalah organisasi yang keanggotaanya merupakan pakar
pelukis top dunia dan rata-rata para pelukisnya dihargai di mata dunia dan juga
para kolektor lukisan.
Keterangan :
1.Rigen : Anyaman bambu yang berbentuk persegi
panjang untuk tempat
Menjemur tembakau
2.Realis :
Usaha menampilkan suatu karya sebagaiman tampil dalam kehidupan
Sehari-hari
Cerpen ini adalah cerpen ke duaku yang kutulis sejak pertama kali mulai menulis dan dimuat di Tabloid Apa kabar Hong Kong dan juga dibukukan dalam buku KAMBOJA BERCERITA.
Silahkan memesan buku kumpulan cerpen menginspirasi ini :)