Headline

Wajah Serupa Ibu

Aku pandangi potret lusuh di tanganku ini. Dalam potret itu aku adalah gadis kecil berkepang dua dan duduk di pangkuan ibuku yang berkerudung panjang dan berkebaya. Sementara ayahku memakai setelan jas kebanggaannya. Jari telunjukku terus saja mengusap wajah ibu yang berada dalam foto tersebut. Ibuku begitu anggun dan lugu. Hanya potret satu-satunya ini untuk mempertemukanku pada ibu yang sekian lama bekerja di Hongkong, namun  tidak memberi kabar selama 16 tahun. Saat aku masih berumur 3 tahun, ibu meninggalkanku untuk mengadu nasib ke negeri bambu. Tahun pertama dan ke dua ibuku masih sering menelponku dan mengirimi ayah sejumlah uang untuk membeli susu untukku. Namun, kini entah sampai kapan aku berhenti mencari ibuku dan bertemu dengannya. Padahala aku bekerja di Hongkong sudah hampir setahun, tapi semuanya sia-sia dan aku tidak juga menemukan ibu.

            Wajah perempuan tadi yang aku temui di Kowloon Park,  mirip sekali dengan sesosok wanita dalam potret ini. Sempat aku sapa dia dan bertanya padanya. Namun dia menggertakku hingga mengumpatku. Ada aliran darah yang berdesir di seluruh tubuhku, aku tergugu mendengar umpatannya. Satu tetes bening air mata tak sanggup aku bendung. Entah mengapa aku begitu sedih mendengar semua caciannya. Siapakah dia?

            Apakah wanita itu orang selama ini yang aku cari dan aku rindukan? Tapi kenapa saat aku hanya bertanya, “Maaf, Bu, apakah Ibu bernama Nurima?” jilbabku berkibar karena diterpa angin dan mengenai mukanya. Wanita itu menyibak dengan kasarnya.

            “Heh! Kamu ini berjilbab, tapi gak sopan ya! Lihat jilbabmu kena mukaku tau. Dan satu lagi jangan pernah menggilku, ‘Bu’. Aku tidak suka dan namaku bukan Nurima, tau? Namaku Melly,” wanita itu mengibaskan rambutnya yang lurus dan mengenaiku. Lalu mukanya sinis menatapku tajam. “Sana pergi! Aku muak melihatmu!” matanya memerah seperti tersulut api kemarahan.

            “Sebelum saya pergi, saya ingin memastikan apa ibu benar-benar bukan Nurima?” aku tertunduk takut. Takut jika dia akan menggertakku.

            “Eh, budek ya? Aku bukan Nurima. Pergi dari sini!” wanita itu berkacak pinggang dan seperti ingin menyerangku. Ya Allah, salahkah aku bertanya dengan sopan tentang Nurima, ibuku? Mengapa dia begitu murka setiap kali aku mengucapkan kata Nurima? Siapakah wanita yang mirip dengan potret ibuku, dan jika dia bukan Nurima apa mungkin dia saudara ibuku yang aku belum tahu sebelumnya, atau memang suatu kebetulan saja jika wajahnya memang mirip.

            Sebelum aku pergi meninggalkan wanita ini, aku sodorkan sebuah buku yang baru saja aku beli yang mengupas tentang keuangan beserta nomor teleponku. Entah mengapa aku ingin mengenal wanita ini begitu mendalam. Aku hanya ingin dia berubah dalam cara berpenampilan. Awalnya aku ingin juga menunjukkan potret yang ada dalam tasku, namun aku urungkan takut dia bertambah murka.

            “Ini Mbak Melly simpen, ya! Untuk kenang-kenangan saja. Jika Mbak perlu bantuan dariku, maka segera menelponku!” aku berlalu sebelum dia menggertakku untuk yang kesekian kalinya.

            Aku terus saja mengusap foto lusuh yang ada di tanganku sekarang. Apakah wanita itu menyimpan buku dan nomor teleponku? Atau buku itu akhirnya teronggok di tong sampah? Semoga saja tidak. Karena aku membeli buku itu dengan tujuan ingin memberikan kepada seseorang yang memerlukan. Tapi entah mengapa pada akhirnya aku memberikan kepada wanita sejahat yang aku temui sore tadi.

            Semoga dengan membaca buku tersebut, wanita itu menjadi insaf dan mengubah penampilanya yang hanya memakai baju kekurangan bahan. Dan sepertinya wanita itu juga berjalan bersama lelaki Pakistan.

                                                                        ***

            “Mbak, tolong bantu aku! Aku membutuhkan uang itu untuk membayar cicilan hutangku di bank. Bukannya kemarin Mbak bilang sendiri pada saya, jika saya memperlukan bantuan, maka segera menghubungu, Mbak,” aku merasa tersudutkan dengan perkatan Melly. Mau tidak mau aku harus memberikan emas hasil investasiku selama ini. Padahal niatku emas ini akan aku ambil minimal 3 tahun yang akan datang. Namun apa boleh buat jika sekarang ternyata aku memerlukannya. Semua ini untuk memenuhi permintaan wanita itu. Ah, mengapa aku seperti dihipnotis mendengr ucapannya. Dan yang paling tidak aku mengerti mengapa ingin sekali aku mendekapnya. Agar darah kehangatannya dapat aku rasakan. Mungkin karena mukanya memang mirip dengan ibuku. Mungkin itu. Hanya yang membedakan jika wanita itu memakai rok mini dan seksi, dandan menor, menggandeng cowok Pakistan, maka ibuku suka memakai kebaya, karena di semua album fotonya yang ada di rumah, ibu selalu berkebaya. Ibu juga tidak suka dandan dan dia tidak menggandeng Pakistan, namun menggandeng ayah.

            Aku ambil sejumlah emas di kotak kecilku dan aku sodorkan ke dia, “Mbak, tolong kembalikan paling lambat lima bulan. Karena emas ini niatnya untuk aku berikan kepada ibuku,” wanita itu tidak menghiraukanku, dia sibuk dengan emas hasil meminjam dariku. Aku pandangi lelaki Pakistan yang berada disampingnya, mulutnya membentuk bundaran karena melihat emas yang berada di tangan kekasihnya. Pikiranku jadi merasa tidak enak ketika aku teringat dengan lelaki ini. Bukankah pria jenis seperti ini kebanyakan cintanya hanya untuk memeras perempuan, khususnya perempuan Indonesia yang gampang sekali untuk diperas. Rasanya aku sudah tidak tahan melihat lelaki yang matanya terlihat ijo begitu melihat beberapa emas di tangan wanita yang mirip ibuku.

            “Maaf, kenapa Anda terlihat senang sekali melihat emas itu,” kepalaku sedikit bergerak menunjukkan emas yang ada di tangan Melly, “ingat! Jangan sekali-kali kamu menipunya!” gertakku tidak tahan.

            “Hei! Kenapa kamu berbicara seprti itu?” gertaknya, dan aku melihat Melly begitu terkejut mendengar apa yang barusan aku ucapkan. Matanya nyalang merah dan terlihat kemarahannya yang tidak bisa ditahan. Sepertinya Melly memang sudah terbelenggu dengan cinta semunya lelaki pecundang itu.

            “Hei! Dengar anak ingusan! Kata-katamu sungguh menyakitkan. Tidak sesuai dengan jilbab yang kamu pake. Lihat saja apa yang akan terjadi, karena pepatah mengatakan mulutmu harimaumu,” Melly berlalu dan tidak memperdulikanku yang menyimpan sejuta pertanyaan atas apa yang baru diungkapkannya.

                                                                        ***

            Hari libur ini terpaksa aku membantu temanku berjualan di bawah jembatan Coesweybey. Mengulek sambel kacang untuk bumbu lontong campur. Biasanya hari libur aku habiskan untuk belajar membuat cushion atau pun membuat tas. Namun kali ini aku sungguh tidak punya uang dan aku berinisiatif membantu temanku berjualan. Awalnya temanku terkejut atas kemauanku, namun setelah aku menjelaskan kepadanya dia mengerti posisiku saat ini. Temanku memarahiku atas kebodohanku yang segampang itu memberikan pinjaman kepada orang yang kebetulan mirip ibuku.

            Pembeli melingkari dagangan temanku, dan berdesak-desak ingin membeli. Sekali-kali aku mendongakkan kepala dan tatapanku meluncur ke sela-sela kerumunan, untuk memastikan jika dagangan kami aman-aman saja dari intaian pakdeh(1). Tiba-tiba saja jantungku berdetak kencang dan darahku mengalir deras, ketika aku menyadari ada dua  Pakdeh yang melangkah ke arah kami.

            “Pei ngo sanfenching(2)! Kamu jualan ‘kan?” tanyanya dan temannya segera memberogol tanganku, “Kami mendapat laporan dari salah seorang pembantu Indonesia.”

            Pembantu Indonesia manakah yang begitu tega melakukan ini kepadaku? Tidak jauh dari jembatan ini aku melihat Melly tertawa penuh kemengan. Ah, aku baru ingat jika tadi malam aku memberi SMS kepadanya untuk mengingatkan hutangnya yang sudah tujuh bulan. Aku memang mengatakan jika hari ini aku akan membantu temanku untuk berjualan. Niatku agar dia mengerti posisiku yang terjepit dengan keuangan. Mbak Siti lebih banyak berbicara merayu kepada polisi agar dibebaskan dan berjanji tidak akan mengulangi keslahannya kembali. Entah sudah berapa kali Mbak Siti mendengung-dengungkan nama anaknya yang masih sanagt kecil kepada polisi tersebut, sayang polisi itu tidak mendengarkan ceracau Mbak Siti. “Maafkan aku, Mbak!”

            Baru aku sadari foto lusuh penyemangatku untuk mencari jejak ibuku di Hongkong jatuh lima langah dariku. Aku ingin segera mengambil namun ditahan oleh polisi. Aku lihat Melly segera mengambil fotoku. Ingin sekali aku mengumpat Melly yang telah aku tolong justru menjerumuskanku. Aku segera menaiki mobil polisi dan aku melihat Melly mengejar dan memanggil namaku. Baru kali ini aku medengar dia mengerti namaku, ‘Rosita’. Suaranya parau dan terus mengejarku hingga jauh, namun sayang dia tidak cukup cepat mengejar mobil polisi yang aku tumpangi saat ini.

            Lima hari telah berlalu aku menjadi penghuni penjara ini. Aku mendapat surat kabar dari Mona, temanku. Dia menyerahkan kepadaku dengan raut wajah yang sulit aku tebak.

Nurima bunuh diri dari lantai 20 setelah melaporkan anaknya Rosita karena berjualan lontong campur di Jembatan Coeswaybay. Dengan menggunakan kebaya dia mengenggam foto keluarga.

            Aku tidak percaya dengan semua ini!!! (Diani Ramdhaniesta)


Keterangan:
1.      Pak Deh  : Panggilan khas untuk polisi di kalangan TKW Hong Kong.
2.      Pei ngo sanfencing  : Beri aku KTP

Cerpen ini pernah di muat di majalah BHSI (BMI Hong Kong Sadar Investasi) edisi November 2012

G+

Recent Articles

0 komentar for "Wajah Serupa Ibu"

Leave a reply