Headline

Cerpen


Edelwies di Puncak Sumbing


 

 Rena berdiri menghadap  matahari terbit di puncak Gunung Sumbing. Menatap semburat merah yang merayap di bawah kekokohan Gunung Sumbing, dari tempatku berdiri menyamping di sebelah barat laut. Ketinggihan Gunung Sumbing inilah yang  menjadikan matahari terlihat  merayap untuk menggapai puncaknya. Tatapan mataku  tajam menelanjangi rambut Rena yang berkilau merah menyala, berkibar indah seperti sulaman sutra. Dari balik  rambutnya yang tergerai indah, aku melihat secercah matahari yang berjalan seolah-olah menyusup ke dalam helaiannya. Tepat di sebelah selatan, di kabupaten  Wonosobo dari ketinggian Gunung Sumbing lebih dari 3000m, membuat rumah-rumah penduduk Parakan seperti potongan mozaik yang tercerai-berai.

 

Tas hikingku tergeletak penuh debu dan bersandar di kakinya.Sebelum takdir merubah keadaanku,  tas itu dahulu adalah tas yang diberikan ibuku sebagai hadiah atas hari kelahiranku yang ke-18 tahun. Alasan ibu memberikan tas itu padaku adalah karena aku pecinta hiking. Namun, aku tidak menyangka jika tasku akhirnya hilang diambil orang. Renalah yang mengambil tas itu.

 

Saat itu Rena belum menjadi kekasihku. Namun, dia telah menjadi pengisi hatiku. Sayang, aku tidak bisa mengungkapkan perasaan ini pada Rena. Hanya aku simpan. Tapi, karena tas itulah yang menolongku untuk mendakati Rena, memahami Rena, dan menjadikan Rena sebagai pengisi hatiku seutuhnya. Hingga saat ini Rena menjadi satu-satunya sosok yang aku rindukan, selain ibu.  

 

Aku mengetahui dia yang mencuri tasku, dari keponakanku yang melihat Rena menyelinap ke kamarku. Saat itu ibu akan mengadakan kenduri syukuran atas kelulusan Mbk Fatim, kakak kandungku. Ibu meminta tolong Rena, agar membantu ibu memasak. Saat ibu dan seisi rumah kelihatan senyap. Momen seperti ini yang di gunakan Rena untuk mencuri tas hikingku di dalam kamar. Saat keponakanku mengetahui Rena, dia tidak berani mempergoki, karena dia tahu jika aku telah jatuh cinta pada Rena. Maka, keponakanku memberitahu berita ini kepadaku. Akhirnya aku putuskan untuk menemui Rena dan menanyakan perihal berita yang aku dengar ini. Sebenarnya niat utama berjumpa Rena bukanlah untuk membahas masalah tas. Tapi, aku ingin lebih memahaminya, mendekatinya, dan mengungkapkan perasaan ini kepada Rena.

 

Ketika Rena mengetahui kedatangku, dia mengajakku ke sungai yang tidak jauh dari rumahnya. Dia menjelaskan kepadaku alasan dia mengambil tasku. Padahal, aku saja belum memepertanyakan perihal tas itu kepada Rena.

 

“Edo, maafin aku! Sebenarnya akulah orang yang mengambil tas kamu. Aku tidak berniat untuk mengambilnya, tapi adikku. Dodi yang menyuruhku untuk mencuri tasmu. Saat itu dia melihat tasmu yang begitu bagus  menurutnya. Dia minta pada ibu, namun ibu tidak membelikannya. Dia menyuruhku untuk mencuri tasmu. Jika tidak, dia akan menganiaya ibu. Dia sekarang menjadi seorang psikopat. Jiwanya terganggu. Perubahan sikapnya ini dikarenakan kekasihnya dibunuh secara keji di hadapannya, oleh perampok di Toko Perhiasan di sekitar pasar Parakan. Saat itu kekasihnya dan Dodi di tahan perampok itu, untuk melindungi mereka dari kejaran polisi. Dalam perjalanan, kekasihnya di bunuh. Sejak saat itu Dodi berubah menjadi psikopat,” Rena menangis tergugu.

 

Aku ingin sekali mengusap air matanya, ingin sekali membelai rambutnya. tanganku secarah refleks ingin menyetuh pipi Rena yang basah oleh  bulir air matanya.

 

“Maaf,” ketika Rena sontak menolehku dan aku tarik kembali tanganku agar menjahui pipi Rena. “Aku paling tidak bisa melihat seorang perempuan menangis. Sudahlah, aku ikhlaskan tasku untuk adikmu, Rena. Hapus air matamu!” aku palingkan mukaku ke sungai yang mengalir deras. Agar tidak lagi melihat air mata itu.

 

Pembicaraan kecil itulah yang mendekatkanku pada Rena dan menjadikan Rena mampu bertahta di hati.

 

Dua bulan yang lalu aku mendengar Dodi terjatuh di Gunung Sumbing, saat dia mendaki. Namun, saat itu dia tidak membawa tas hikingku. Bersama  teman-temannya dia pesta minuman keras di Gunung Sumbing. Padahal setahuku di Gunung Sumbing, kita harus menjaga tingkah laku kita agar selamat dan kembali ke rumah. Bahkan tidak di Gunung Sumbing saja aku rasa, tapi disemua gunung mempunyai peraturan yang sama. Walau peraturan itu datangnya dari mana, tetap saja banyak orang yang menghormati peraturan dari gunung yang mereka daki. Dodi pun tidak di ketemukan jasadnya di gunung ini. Namun, sekarang aku bisa melihat jasad Dodi yang tinggal tulang-belulang di tumbuhi bunga edelwies. Bunga kebadian, begitulah orang menyebutnya.

 

Ketika tanganku terulur ingin menggapai pucuk-pucuk rambut indah rambut Rena, aku mendengar manusia lain yang membuyarkan pikiranku.

 

“Rena, kamu lagi ngapain dari tadi di sini?”  kata perempuan yang ternyata bernama Sinta. “Biarkan mereka pergi! Ikhlaskan! Ayo minum teh! di puncak sangat dingin sekali ternyata.” Sinta menarik lengan Rena. Ingin sekali aku mengumpat interupsi wanita itu.

 

“Sin, apa kamu melihat di sana ada segerombolan edelweis dan ada dua orang yang sangat aku rindukan melambai-lambaikan tanganya padaku?” Tanya Rena sambil terus menatap ke dasar lembah dan meunjukkan arah yang di maksud. Aku tidak bisa mengartikan perasaanku, antara sedih dan bahagia mendengar apa yang diucapkan Rena pada sahabat hikingnya. Bahwa perasaan kami belum berubah.

 

Sinta mengernyitkan dahinya dan mencoba menoleh ke dasar lembah “Tidak ada apa-apa. Aku tidak melihat apa-apa. Sudahlah jangan ngomong ngaco kamu! Ayo cepet ke tenda!” Sinta berusaha menarik tangan Rena. Muka Sinta terlihat ketakutan.

 

“Tidak. Lepaskan! Biarkan aku di sini!” bentak Rena.

Sinta menatap Rena tajam. Muka Rena sangat pucat sekali. Rena segera mengecek kening Rena “Ya Allah, Rena, kening kamu panas sekali!” Suara Sinta tiba-tiba lantang, sebagian temannya yang ada di tenda menoleh.

 

“Aku tidak apa-apa. Aku ingin sendiri menatap dua orang yang aku rindukan itu. Pergilah kamu ke tenda!” Rena menghela nafas panjang.

 

Sinta menatap tas yang tergeletak di sandaran kaki Rena dan tatapan Sinta terus berjalan ke rok yang di gunakan Rena dan terus ke seluruh tubuh Rena, dan kini wajah Rena di tatapnya lekat.

 

“Kenapa kamu hiking menggunakan rok? Bukannya tadi kamu sudah ganti celanaku?” tanya Sinta penasaran.

 

“Tadi aku ganti lagi setelah sampai du puncak. Kamu tahu tidak Sinta? Dulu saat aku menjemur pakaian di belakang rumah, Edo melihat aku memakai rok ini. Dia mengagumi keindahan rokku. Katanya rokku menjulur seperti tarian air laut.” Rena menjelaskan dengan antusias.

 

Aku melihat Sinta menelan ludahnya seperti menelan batu pualam. Karena pada kenyataanya rok Rena tidak seindah dulu. Penuh debu dan banyak robek di setiap ujungnya. Bukan hanya Sinta atau teman-temannya saja yang merasa aneh dengan penampilan Rena, tetapi aku juga. Dia hiking menggunakan rok, lucu bukan?  Saat Rena kesusahan mendaki teman-temannya membujuk Rena untuk ganti celana panjang. Tapi, Rena tidak serta merta memakan mentah-mentah saran temannya. Dengan susah Sinta membujuknya dan dia mau menggunakan celanan panjang milik Sinta. Karena Rena tidak membawa sehelai pun celana panjang.

 

“Sin, lihat! Kamu lihat! Disana ada Edo dan Dodi adikku. Mereka menjemputku di tumpukan edelwies dari jurang itu. Sepertinya jika aku terjun ke situ aku akan merasakan indahnya melayang-layang di tumpukan bunga edelwies itu,” Rena menunjuk dan menarik-narik baju Sinta untuk melihat apa yang dia lihat.

 

“Tidak ada apa-apa.  Rena! kamu sadar. Ini hanya halusinasimu!” bentak Sinta.

 

“Tidak! Ini nyata. Aku akan segera ke tumpukan bunga edelwies itu.” Rena melangkahkan kakinya pelan ke depan jurang.

 

“Rena, kasihku, hentikan! Jangan kau lakukan itu! Itu bukan Aku atau Dodi,” aku segera menarik tangan Rena, tapi sayang tanganku tidak bisa menggapai tangan Rena. Aku tidak bisa menggapai Rena.

 

“TOLONG…!” Sinta berteriak meminta bantuan.

 

Rena terus melangkah ke depan. “Jangan kau lakukan Rena! Jangan! Ingat ibumu di rumah tidak punya siapa-siapa lagi selain dirimu. Percayalah!  itu bukan aku,  RENA…” aku berteriak. Sayang, teriakanku tidak di dengarnya. Hanya angin gunung yang mendesis-desis seperti ular di daun telinga Rena.

 

‘BLUK’ tubuh Rena terkulai, matanya melotot, tubuhnya mengejang, darah mengalir deras di mulutnya, isi perutnya keluar dan tersangkut di beberapa akar-akar pohon yang menjulur di area dinding tebing. Aku tidak bisa melihat Rena seperti ini. Aku menjerit sekuat tenaga namun, yang mendengar jeritanku di Gunung Sumbing ini hanyalah hewan-hewan penunggu Gunung Sumbing.

 

Memoriku terputar kembali saat aku mendaki bersama tim SARS untuk mencari jasad Dodi, Rena memintaku untuk memetik edelwies jika aku menemukan di Gunung Sumbing. Saat aku sedang berjalan seorang diri untuk menuju sungai, aku melihat segerombolan edelwies di pinggir tebing yang lebih dekat dari tanah tempat aku berpijak. Aku mengira edelwies itu bisa aku raih dengan tanganku. Tapi, entah  mengapa edelwies itu semakin aku raih, semakin jauh dan jauh. Hingga saat itu aku terjatuh berbalut lilitan bunga edelwies.

 

Kini kedatangan mereka pun untuk mencari jejakku dan Dodi, malah membuat Rena menjadi korban berikutnya. Korban edelwies di puncak gunung sumbing.

 

 

 

 

 

G+

Recent Articles

0 komentar for "Cerpen"

Leave a reply